Film Merah Putih One For All Tuai Kritik Soal Kualitas, Anggaran dan Proses Produksi Kilat

Film Merah Putih One For All Tuai Kritik Soal Kualitas, Anggaran dan Proses Produksi Kilat
Film animasi Merah Putih: One For All. (ist)

Jakarta, SERU.co.id – Film animasi Merah Putih: One For All yang dijadwalkan tayang pada Agustus 2025 menuai sorotan tajam. Film ini diprotes karena dinilai memiliki kualitas rendah, proses produksi kilat, hingga penggunaan aset digital minim nuansa lokal. Karya garapan Perfiki Kreasindo ini bahkan mengaku sebagai film animasi anak Indonesia pertama bertema kebangsaan.

Sutradara Hanung Bramantyo termasuk yang mempertanyakan alasan film tersebut bisa mendapat jadwal rilis strategis. Terutama di tengah persaingan ketat 200 judul film Indonesia yang antre tayang.

Bacaan Lainnya

“Terus kenapa harus buru-buru tayang? Ironisnya kok bisa dapat tanggal tayang di tengah antrean?,” seru Hanung, Senin (11/8/2025).

Produksi film Merah Putih: One For All dirumorkan menelan biaya mencapai Rp6,7 miliar. Namun, Sutradara sekaligus produser eksekutif Endiarto membantahnya. Ia mengaku, tidak mengetahui asal-usul nominal tersebut. Menurutnya, angka itu fantastis jika memang benar diterima pihaknya.

Kritik semakin tajam setelah YouTuber Yono Jambul menemukan sejumlah aset film dibeli dari marketplace digital seperti Daz3D. Termasuk latar Street of Mumbai yang dinilai tidak sesuai nuansa Indonesia.

Trailer film yang beredar pun memperkuat sentimen negatif. Warganet membandingkan biaya produksi yang diklaim mencapai miliaran dengan kualitas animasi yang dinilai kalah jauh. Seperti anime kelas dunia One Piece atau Demon Slayer yang per episodenya menelan biaya sekitar Rp1,8 miliar.

Meski mendapat gelombang kritik, Toto Soegriwo justru merespons dengan sindiran di media sosial.

“Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan? Postingan kalian jadi viral kan?,” ungkapnya.

Merah Putih: One For All bercerita tentang delapan anak dari berbagai daerah. Yakni Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan etnis Tionghoa. Mereka bersatu mencari bendera pusaka tiga hari sebelum upacara kemerdekaan 17 Agustus. (aan/mzm)

disclaimer

Pos terkait