Sedangkan pasal 28 ayat 1 mengatur, hoaks yang merugikan konsumen. Pasal 28 ayat 2 menjelaskan, masalah hate speech atau ujaran kebencian. Lalu pasal 29 mengatur, larangan bullying.
“Dari adanya seluruh pasal tersebut menunjukkan bagaimana aturan hukum bisa membatasi. Terkait dengan penyebaran konten-konten yang berlebihan dimana akan melanggar hak seseorang. Sebagaimana ruang lingkup pasal 27 itu mulai membuat, mentransmisikan, hingga dampaknya pada pencemaran nama baik, ribut saling ancam,” beber dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB).
Pasalnya, setiap orang memiliki hak dalam mengakses, berekspresi, dan mendapatkan rasa aman di dunia digital. Namun hak seseorang tersebut tidak boleh melanggar hak orang lain, terutama di ruang terbuka seperti media sosial atau siber.
“Seseorang yang sudah masuk ke dalam ruang siber secara tidak disadari membuka ruang privatnya. Di mata hukum, dapat menimbulkan keterlibatan dalam hadirnya ruang publik, dimana UU ITE itu berlaku pada siapapun. Dimana jika tidak digunakan secara bijak, maka akan menimbulkan berbagai macam permasalahan,” ulas Faizin.
Namun tidak semua permasalahan UU ITE diatur dalam pasal 27 hingga 29, mengingat adanya pergeseran payung hukum dan pelaksanaan di lapangan. Faizin mencontohkan, hate speech sudah diatur ke dalam pasal 106 A, dimana ada rasa kebencian terhadap suatu kelompok. Didasarkan pada agama, ras, suku, golongan yang intinya kelompok dalam masyarakat.
“Jika masalah penghinaan, masuknya ke dalam ancaman bagi seorang individu sudah diatur juga ke dalam UU ITE,” ungkapnya.