Malang, SERU.co.id – Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan mencatat belasan jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri saat meliput unjuk rasa tolak UU Ciptakerja di kawasan Jalan Tugu Malang, Kamis (8/10/2020) lalu. Padahal saat itu para jurnalis dari media cetak, elektronik dan siber tengah melakukan kerja jurnalistik.
Kekerasan berupa pemukulan, perampasan alat kerja, penghapusan paksa karya jurnalistik (foto dan video) sampai intimidasi secara verbal. Padahal hampir semua jurnalis dilengkapi kartu pers saat bekerja, dan menunjukkan jati dirinya kepada Polri yang bertugas.
Merespon hal itu, Jurnalis Malang Raya turun aksi ke jalan menyuarakan aspirasinya agar tidak ada kekerasan lagi terhadap jurnalis, Senin (19/10/2020). Dengan mengusung manekin sebagai simbol jurnalis bukanlah boneka yang bisa dibungkam. Mengingat besok akan ada agenda demo besar oleh aliansi buruh di Alun-alun Tugu, Selasa (20/10/2020).
“Sudah kesekian kali rekan-rekan jurnalis mendapatkan kekerasan verbal maupun fisik. Padahal dalam menjalankan kerja jurnalistik, para jurnalis dilindungi UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” ungkap Zainul Arifin, juru bicara aksi, mendampingi korlap aksi Adit Glewo.
Zainul pun merinci 15 kasus kekerasan yang dialami oleh awak media. Diantaranya:
Jurnalis Media Cetak Dipukul.
Seorang jurnalis media cetak berjalan kaki dari Alun-alun Tugu menuju Taman Singha di depan Stasiun Kota Baru, hendak mengambil motor dan membeli minum. Tak lama, beberapa personel Polri mengejar beberapa massa pengunjuk rasa. Apesnya, jurnalis ini dikira bagian massa, lalu ditarik dari belakang hingga jatuh dan kepalanya membentur aspal. Kontan korban berteriak menyebutkan profesinya adalah jurnalis.
Tak cukup disitu, menyusul polisi lainnya tetiba memukul di bagian pelipis dan sekali menendang perutnya. Seorang polisi lainnya bergerak menarik tubuh korban dan memaksa berdiri. Lantas menggelandang dan menginterogasi korban di mobil polisi yang berada di belakang gedung DPRD. Dalam kondisi memar, korban dibebaskan setelah ditolong jurnalis lain dan warga.
4 Jurnalis Mengalami Perampasan Alat Kerja dan Penghapusan/Sensor Paksa Foto.
Keempat jurnalis berada di posisi berbeda di kawasan Tugu. Mereka (tiga jurnalis memakai gawai dan seorang jurnalis menggunakan kamera DSLR) mengambil foto kericuhan unjuk rasa Tolak Omnibus Law. Personil polisi mengintimidasi keempat jurnalis agar tak mengambil gambar polisi yang menangkap para demonstran.
Polisi laki-laki dan polisi wanita mengambil paksa gawai dari tangan ketiga jurnalis. Gawai dikembalikan setelah polisi memeriksa seluruh isi folder foto. Seorang pewarta foto diintimidasi dan dipaksa agar menghapus foto hasil bidikan kamera. Disertai kalimat, “Hapus, hapus, hapus gak!”
10 Jurnalis Mendapat Kekerasan Verbal (Intimidasi/Ancaman) dan Penghalangan Kerja.
Sebagian besar para jurnalis tidak dalam satu posisi dan lokasi yang sama. Masing-masing mendapat intimidasi agar tak memotret momen polisi menangkap massa aksi. Jurnalis diancam akan dicari bila foto tetap dimuat. Padahal para jurnalis telah menjelaskan profesinya kepada polisi dan menunjukkan kartu pers atau atribut lainnya.
Ada juga seorang personel polisi mendorong kamera seorang jurnalis yang sedang membidikkan kamera untuk merekam momen sembari mengatakan, “ada perintah dari atasan’.
Tidak sedikit pula personel polisi menyorongkan tangan ke arah kamera jurnalis sekaligus memperingatkan agar tak mengambil gambar.
“Mungkin bagi sebagian pucuk pimpinan paham kerja jurnalis. Namun sebagian anggota lainnya, tidak paham hingga melakukan kekerasan tersebut. Maka kami tak ingin hal itu kembali terjadi ke depannya,” seru Zainul.
Anggota Polri mengabaikan peran jurnalis saat melakukan kerja-kerja jurnalistik. Polisi melanggar UU nomor 40 tahun 199 tentang Pers. Pada Pasal 4 UU Pers menegaskan, terhadap pers nasional tidak diperkenankan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran.
“Kemerdekaan pers dijamin dan pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal 8 menegaskan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum,” imbuh jurnalis liputan6.com ini.
Ditegaskannya, siapapun yang melawan hukum karena sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan profesi pers, bisa dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan terdiri dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Malang Raya, mengajukan 4 poin pernyataan sikap, di antaranya:
- Polresta Malang Kota wajib mengusut kasus kekerasan terhadap jurnalis saat peliputan unjuk rasa Tolak Omnibus Law. Serta memberi pemahaman kepada setiap personel untuk mematuhi UU Pers, agar peristiwa serupa tak terus berulang.
- Mengimbau perusahahan media bertangungjawab penuh terhadap jurnalisnya, membekali jurnalisnya dengan identitas kartu pers. Perusahaan pers mendampingi jurnalis yang menjadi korban kekerasan sesuai Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang dikeluarkan Dewan Pers.
- Mengimbau pada para jurnalis yang mengalami kekerasan verbal dan non verbal berani melaporkan kasusnya.
- Mengingatkan jurnalis untuk mematuhi kode etik dan UU Pers dalam menjalankan kerja jurnalistik.
(rhd)