Megawati Melengos, Politik Memanas

Tayangan KompasTV yang memperlihatkan ekspresi Megawati melengos dan tidak menyalami Surya Paloh, saat menghadiri acara pelantikan anggota baru DPR (1/10/2019), menjadi bahasan ramai di media sosial maupun media arus utama.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, melengos artinya: memalingkan muka (tidak sudi melihat dan sebagainya) atau membuang muka.

Apa boleh buat, di dunia politik, bahasa tubuh bisa ditafsirkan dengan berbagai makna. Apalagi bila figur yang yang menjadi lakon cerita adalah dua ketua partai yang selama ini relasinya sangat baik. Momen Megawati melengos, lalu dimaknai relasi politik memanas di antara keduanya.

Megawati adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sedang Surya Paloh adalah Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem). Keduanya selama ini berhubungan sangat baik. Dalam pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo 2014-2019, PDIP dan NasDem bersama partai koalisi lainnya berbagi kekuasaan di kabinet secara proporsional.

Pada pilpres 2019, Surya Paloh mendeklarasikan Jokowi sebagai capres yang dijagokan NasDem, jauh hari sebelum Megawati menunjuk kembali Jokowi sebagai capres 2019-2024. Keduanya kembali berkoalisi bersama empat partai yang lain. Sampai Jokowi memenangi pilpres, hubungan keduanya masih terlihat harmonis.

Para pengamat mulai menengarai terjadinya beda pendapat di antara keduanya, ketika dua rival pada pilpres, PAN dan Demokrat, mulai menjalin komunikasi politik dengan PDIP. Begitupun ketika PDIP mulai membuka komunikasi politik dengan Gerindra.

Kondisi semakin memanas ketika pertengahan Juli lalu, Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Banyak suara memuji pertemuan itu sebagai awal rekonsiliasi dua pihak yang berseteru dalam pilpres 2019.

Banyak pula pendapat yang menginginkan Gerindra dirangkul masuk dalam pemerintahan Jokowi periode ke-2, agar rekonsiliasi tak sekadar seremonial, tapi bernar-benar dalam power sharing antara dua kekuatan.

Di sisi yang lain, publik bisa menangkap kesan bahwa parpol koalisi pengusung Jokowi–minus PDIP–punya kekhawatiran mendalam atas komunikasi politik PDIP dengan parpol nonkoalisi, terutama Gerindra.

Mereka mengisyaratkan tak rela bila kelak PAN, Demokrat, apalagi Gerindra, diajak dalam pemerintahan Jokowi. Mereka mendorong agar Gerindra tetap di luar pemerintahan, sebagai partai oposisi.

Di wilayah yang berbeda, narasi spekulatif mulai ditiup. PDIP membuka pintu kepada Gerindra untuk ikut berkoalisi sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi 2019-2024. Narasi tersebut begitu kuat, hingga Gerindra pun siap memberikan paper tentang apa yang bisa dikontribusikan mereka bila diajak masuk dalam pemerintahan Jokowi.

Surya Paloh menanggapi spekulasi tersebut dengan cukup serius. Di kantor NasDem, ia mengumpulkan ketua parpol koalisi pengusung Jokowi, minus PDIP. Usai pertemuan tersebut muncul pernyataan bahwa koalisi pengusung Jokowi tidak perlu tambah anggota. Pernyataan itu bisa diartikan sebagai bahasa halus penolakan bila PDIP jadi mengajak Gerindra masuk di pemerintahan.

Pada kesempatan yang lain, elite NasDem bersuara cukup keras. Bila partai oposisi diajak masuk ke pemerintahan, sama halnya dengan menipu rakyat. Oposisi harus tetap berada di luar pemerintahan.

Puncak “perlawanan” NasDem terjadi ketika Megawati bertemu dengan Prabowo Subianto di kediaman Ketua Umum PDIP, pada 24 Agustus 2019. Di saat yang sama, Surya Paloh, bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, di kantor NasDem.

Dalam penjelasan formal, Surya mengatakan pertemuan itu hanyalah silaturahmi senior dengan juniornya. Bisa dimaklumi, pada masa lalu Anies adalah tokoh NasDem, ketika NasDem masih menjadi ormas.

Namun berkembang pula info bahwa pertemuan tersebut adalah antisipasi untuk pilpres 2024. NasDem dikabarkan akan mendukung Anies sebagai capres 2024.

Sebenarnya sah-sah saja apa yang dilakukan Surya, dalam konteks pilpres 2024. Artinya NasDem tidak bisa dituduh membokong atau mengkhianati kesetiaannya pada koalisi pendukung Jokowi.

Namun, bahasa politik bisa berkata berbeda. Pertemuan Surya–Anies, dimaknai bahwa NasDem sedang unjuk kekuatan. Manuver politik Surya itu juga diartikan sebagai isyarat bahwa NasDem siap menjadi oposisi.

Nah, bahasa tubuh Megawati yang melengos saat berada persis di depan Surya itu banyak dikaitkan dengan aneka peristiwa politik tersebut di atas. Kesimpulannya, melengosnya Megawati dimaknai sebagai ungkapan PDIP mempersilakan NasDem keluar dari koalisi, menjadi oposisi di luar pemerintahan. Padahal, makna tersebut belum tentu benar.

Menurut Eva Sundari, kader PDIP yang dekat dengan Megawati, tidak mungkin Ketum PDIP itu mengabaikan Surya Paloh. Menurut Eva, keduanya sudah bertegur sapa dengan saling mengangguk, bukan dengan salaman.

Untuk memastikan apakah kongsi PDIP dengan NasDem pecah, sesungguhnya, cukup mudah. Tunggu saja pengumuman kabinet pada akhir Oktober mendatang. Bila tidak ada kader NasDem yang duduk di kursi kabinet, bisa dipastikan hubungan keduanya pecah.

Namun, bila kader NasDem masih dipakai dalam kabinet baru Jokowi, maka apa yang terlihat dalam acara pelantikan anggota DPR tersebut hanyalah falsetto dalam lagu politik. Yaitu teknik vokal untuk mencapai nada tinggi. Setelah itu lagu akan kembali dinyanyikan dalam irama yang harmonis, disertai dansa para elite partai koalisi. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *