Karena itu, pembelajaran yang menitikberatkan pada pengembangan pengetahuan konseptual dan prosedural harus disempurnakan sehingga menjadi lebih jelas. Penjelasan yang lebih rinci dapat mengubah pembelajaran tradisional yang umumnya bersifat prosedural menjadi pembelajaran yang juga mengutamakan pengetahuan konseptual.
Sementara, Prof Dr Rr Eko Susetyarini MSi menilai, Indonesia merupakan megadiversitas dengan keanekaragaman tumbuhan yang berbentuk pohon, perdu, dan semak. Salah satu tanaman bentuk perdu, yaitu beluntas, bermanfaat sebagai sumber makanan dan obat.
Dalam hal ini, obat yang ia kembangkan merupakan antifertilitas, yakni suatu zat atau bahan yang menyebabkan tidak terjadinya fertilisasi antara spermatozoa dengan ovum. Di masyarakat, antifertilitas digunakan sebagai program kontrasepsi dengan harapan menjarangkan kelahiran
“Penelitiannya tentang beluntas sebagai antifertilitas bermula dari fakta bahwa selama ini antiferlititas pada pria belum banyak diterapkan. Adapun saat ini, antifertilitas pria yang tersedia hanya sterilisasi atau suntikan testosterone. Sehingga, perlu adanya pengembangan obat tradisional antifertilitas pria secara oral atau diminum,” ungkap Prof Eko Susetyarini.

Disebutkannya, penelitian ini telah melalui uji preklinis ke hewan coba tikus putih jantan yang menunjukan bahwa pemberian bubuk daun beluntas berkhasiat sebagai antifertilitas. Hal tersebut juga ditunjukkan dari hasil screening DNA mitokondria spermatozoa.
Turut memberikan selamat, Ketua BPH UMM, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP mendorong dosen-dosen lain untuk segera mengikuti jejak keduanya. Apalagi guru besar merupakan pangkat tertinggi bagi para dosen.
“Saya juga ingin agar para profesor UMM dapat mempublikasikan ide-idenya, tidak hanya lewat publikasi ilmiah jurnal, tapi juga publikasi di ruang publik. Maka, upaya itu bisa dilakukan para guru besar dengan masif agar memberikan dampak positif,” ucap Menko PMK RI ini.