Malang, SERU.co.id – Pandemi global yang telah berlangsung selama hampir dua tahun ini telah mentransformasi tatanan hidup dan mereformasi tata kelola dalam berbagai bidang. Tak lagi secara domestik, tapi juga secara global. Kerjasama global pun dilakukan, bukan hanya dari aktor negara, tapi juga non-negara.
Namun ada 3 paradoks yang terjadi pada proses kerjasama global ini. Keterlibatan perusahaan, universitas, lembaga riset, organisasi nirlaba hingga lembaga masyarakat sipil menunjukkan adanya dimensi solidaritas sosial. Muncul ketika dunia dihadapkan pada krisis kolektif seperti sekarang.
“Setidaknya ada tiga paradoks yang muncul dalam praktik kerjasama global di masa pandemi,” seru Pantri Muthriana Erza Killian PhD, dosen Hubungan Internasional FISIP UB, dalam Refleksi Akhir Tahun FISIP UB secara daring dan luring, Selasa (9/11/2021).
Dipaparkan Erza, pertama internasionalisme, adalah semangat kerjasama yang ingin diusung secara global, namun nasionalisme justru semakin menguat. Kedua, pemerataan diharapkan menjadi tujuan utama dari skema global yang digagas, namun ironisnya ketimpangan justru semakin tinggi.
Dan ketiga, retorika terkait kerjasama banyak digaungkan secara masif, namun kompetisi global justru semakin tajam.
“Tiga paradoks ini menjadi poin penting dalam melihat kesesuaian, antara retorika dengan realita global yang ada,” beber lulusan University of Leeds ini.

Beberapa kejadian paradoks yang terjadi, paradoks pertama, seperti Inggris yang sudah mengamankan stok lima dosis per orang. Padahal ada negara lain yang masih kekurangan stok vaksin.
“Selain membahayakan kelompok rentan di banyak negara, nasionalisme vaksin seperti ini juga berpotensi untuk memperlambat pemulihan ekonomi di masa pandemi,” imbuh Erza.
Bentuk paradoks kedua, seperti 71,5 persen populasi di negara berpendapatan tinggi, telah mendapatkan minimal satu dosis vaksin. Berbanding dengan 3,6 persen di negara berpendapatan rendah.
Paradoks ketiga, lanjut Erza, bagaimana kerjasama global terus didorong, namun di sisi lain kompetisi justru semakin tajam.
“Kompetisi untuk mendapatkan vaksin adalah satu bentuk paradoks yang paling dominan di tahun 2021. Selain kompetisi atas sumberdaya ekonomi yang menjadi semakin terbatas,” timpalnya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Erza menilai bisa dilihat melalui dua lensa. Pertama, melihat kemampuan Indonesia dalam menciptakan keamanan kesehatan dalam negeri. Dan kedua menilai kontribusi Indonesia di tingkat global.
“Kunci keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka penyebaran covid-19 adalah angka vaksinasi yang tergolong tinggi,” ucapnya.
Jika dihitung berdasarkan persentase populasi, Indonesia sesungguhnya masih berada di bawah rata-rata global, yakni di angka 43.30 persen. Namun secara angka absolut, Indonesia telah berhasil memvaksinasi sedikitnya 119 juta warga hingga 31 Oktober 2021.
Bagi Erza, unit-unit diplomasi Indonesia berhasil memastikan ketersediaan stok vaksin dalam negeri. Sekaligus mendorong kerjasama untuk membangun kemandirian industri vaksin.
“Harus diakui, untuk pemenuhan ketahanan kesehatan domestik, mesin-mesin diplomasi Indonesia telah menunjukkan performa yang baik selama satu tahun terakhir dan untuk itu, kita layak berterima kasih,” jelas lulusan magister The University of Queensland ini.
Namun menurut Erza kiprah Indonesia di dalam luar negeri tak sebaik di dalam negeri. Indonesia yang cukup aktif dalam skema COVAX Advanced Market Commitment tak mampu mengatasi masalah global tentang masalah ketimpangan vaksin.
“Posisi Indonesia di COVAX lebih banyak digunakan untuk mengamankan stok vaksin dalam negeri, dibanding mendorong pemerataan vaksin global,” sambung Erza.
Erza menyatakan, posisi Indonesia memang dilematis. Termasuk yang juga dialami negara-negara lain.
“Karena pada dasarnya, ketika dihadapkan pada situasi krisis, negara akan cenderung memilih untuk menyelamatkan dirinya terlebih dahulu,” jelasnya.
Di akhir paparannya, Erza meminta tak ada lagi warga yang meninggal karena Covid-19. Indonesia sudah kehilangan lebih dari 143.000 jiwa.
“Kepada merekalah kita berhutang untuk menjaga Indonesia dan mewujudkan dunia yang lebih aman. Ini adalah hutang yang perlu kita bayar lunas, bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk seluruh warga di dunia,” pungkasnya. (rhd)
Baca juga:
- Film Komedi Romantis Layar Lebar Berdurasi Panjang bakal Diproduksi di Kota Batu
- UM Sabet Juara Umum Kedua di POMPROV Jatim 2025 dengan Torehan 97 Medali
- Lathifah Shohib Berharap Ritual Ibadah Kurban Menjadi Contoh Baik di Kehidupan Sehari-hari
- Warga Perum Jasatirta Ikhlas Berkurban untuk Berbagi dengan Sesama
- Sholat Idul Adha di Hanggar Skadud 32 Lanud Abd Saleh Dilanjutkan Pemotongan Hewan Kurban