Malang, SERU.co.id – Di penghujung tahun 2020, Universitas Brawijaya (UB) mengukuhkan dua Profesor baru, di Gedung Widyaloka, Kamis (17/12/2020). Kedua profesor merupakan Profesor aktif ke-188 dan 189 di UB, serta ke-271 dan 272 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Pertama, Prof Dr Drs Luqman Hakim, MSc, sebagai Profesor aktif ke-12 dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Profesor aktif ke-191 di UB, dan ke-271 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh UB. Kedua, Prof Dr Rachmad Safaat, SH, MSi sebagai Profesor aktif ke-6 dari Fakultas Hukum (FH), Profesor aktif ke-192 dari UB, serta ke-272 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan UB.
Dalam pidato pengukuhannya, Prof Drs Luqman Hakim, MSc, mengusung tajuk “Pilkada Mengalami Bias Politik dan Sosial.” Profesor Bidang Sosiologi Pemerintahan ini mengungkapkan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) saat ini mengalami bias politik dan sosial, sehingga berkembang menjadi pemilihan politik antroposentrik kedaerahan dalam arti lebih menyuburkan ikatan-ikatan primordialisme daripada ikatan-ikatan nasionalisme politik.
“Saat ini Pilkada lebih mirip seperti pemilihan kepala politik dibandingkan kepemimpinan administrasif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan selama 15 tahun,” ucap Luqman, saat pidato pengukuhan Profesor, Kamis (17/12/2020).

Luqman menambahkan, keberadaan Pilkada dianggap membahayakan, karena sudah menyimpang dari cita-cita proklamasi kemerdekaan 1945. Apalagi biaya pemilihan politik mahal. Sehingga sadar tidak sadar, calon kepala daerah dikuasai ataupun secara suka rela, menyerahkan diri kepada oligarki di tangan para pejabat tinggi negara, petinggi partai politik atau para cukong.
“Oleh karena itu, dari perspektif sosiologi pemerintahan, diprediksi Pilkada cepat atau lambat membahayakan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski sebagian besar masyarakat sudah cerdas dan sadar Pilkada menjauh dari cita-cita proklamasi,” serunya.
Menurutnya, masyarakat justru memainkan Pilkada untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri. Mereka sengaja menjual suara kepada semua bakal calon (Balon) dan menanti Serangan Fajar.
“Ketika akhirnya tidak sedikit mereka yang berhasil terpilih ternyata masuk bui. Masyarakat tidak peduli, bahkan mempersalahkan sang aktor hanya pandai korupsi berjamaah,” seru alumni S2 di SOAS University of London, dan S3 di UGM ini.
Sementara itu, Prof Dr Rachmad Safaat, SH, MSi mengusung judul “Perlu Keadilan dalam Tata Kelola Pertambagan Mineral dan Batubara” dalam pidato pengukuhannya. Rachmad menyampaikan, Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah merupakan penghasil batubara terbesar kelima di dunia. Sekaligus menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia, karena masih minimnya pemanfaatan batubara di dalam negeri.
“Dengan potensi kontribusi yang besar tersebut diperlukan kejelasan arah politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batubara yang mampu menyejahterakan rakyat, khususnya di daerah yang kaya bahan tambang, serta menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi berikutnya,” beber Profesor Bidang Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam ini.

Naifnya, dalam tataran realitas telah terjadi sebaliknya. Kondisi exsisting politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara saat ini menghadapi situasi krisis dan dalam situasi anomali, karena mengabaikan nilai-nilai keadilan sosial tertuang dalam sila kelima Pancasila dan Alquran, serta prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Kekayaan sumberdaya mineral dan batubara, tidak serta-merta menyejahterakan rakyat dan memberikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Justru sebaliknya, menimbulkan kemiskinan, konflik sosial, degradasi, dan kerusakan lingkungan yang masif, terstruktur, dan sistematis. Melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak ramah terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” beber mantan Dekan Fakultas Hukum Periode 2015-2019.
Berbagai laporan hasil penelitian menunjukkan, dampak aktivitas pertambangan meningkatkan angka pengangguran, kekerasan, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan sosial, pencemaran dan kerusakan lingkungan, korupsi dalam tata kelola pertambangan mineral dan batubara.
Melalui penelitian ini, Rachmad Safaat merekomendasikan perlunya konstruksi baru politik hukum tata kelola pertambangan mineral dan batu bara, agar kebijakan dan regulasi ke depan lebih responsif terhadap keadilan sosial. Dan keberlanjutan lingkungan dengan cara mengintegrasikan dan mengakomodasikan empat pilar utama.
Meliputi: (1) teori hukum responsif dan progresif, (2) teori good governance dan good environmental governance, (3) keadilan sosial berdasarkan sila kelima dan Alquran, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
“Agar rekomendasi tersebut dapat diwujudkan, diperlukan gerakan sosial yang luas, komprehensif, dan memiliki net working yang kuat, untuk mengawal setiap agenda perubahan terkait kebijakan dan regulasi tata kelola pertambangan mineral dan batu bara. Kalangan akademisi dari dunia kampus menjadi aktor utama pembaruan penggerak perubahan,” tandas alumni S2 di Universitas Indonesia (UI), serta S3 di Universitas Diponegoro (Undip). (rhd)