Sementara, Ketua Kelompok Tani Desa Edelweis Hulun Hyang, Desa Wonokitri Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan, Teguh Wibowo mengatakan, Bunga Edelweiss di Suku Tengger mempunyai ikatan yang kuat, karena sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan diganti.
“Sarana adat istiadat yaitu upacara adat menjadi sumber masalah. Bunga edelweiss tidak bisa diganti dengan bunga yang lain. Kalau orang jawa ke kuburan bunga yang dibawa bisa diganti,” beber Teguh Wibowo.
Lambat laun, masyarakat Tengger semakin bertambah banyak, kebutuhan Bunga Edelweiss juga semakin banyak. Barulah tahun 2017 masyarakat dikenalkan dengan budidaya bunga tersebut.
Awal hanya segelintir orang yang berminat dalam budidaya bunga langka dan dilindungi itu, hanya sekitar tujuh orang termasuk dirinya. Kerja keras mulai dari nol tidak menghalangi niat baik komunitas tersebut.
Pembudidayaan dilakukan dengan swadaya, seperti menggunakan wadah bekas dan polybag seadanya. Barulah di tahun 2018, pihak TNBTS mengapresiasi dan memfasilitasi komunitas pembudidaya Bunga Edelweiss.
“Alhamdulillah TNBTS mengapresiasi kerja keras kita. Kita diinisaiasi kelompok resmi ‘hulun hyang’ diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya abdi dewata, pengabdian kita,” ujarnya.
Teguh mengatakan, perkembangan yang signifikan membuat Desa Wonikitri yang sebelumnya hanya sebagai tempat singgah, kini sudah menjadi jujugan wisata tambahan. Ada nilai ekonomi tempat tujuan wisata baru, minimal tujuan stay, lebih lagi untuk belajar, arah edukasi dan konsep ekowisata.
“Bukan hanya berfoto, tapi ekowisata dan pengetahuan. Mulai bagaimana cara menanam bunga itu, teknik budidaya, dan tidak hanya satu jenis,” pungkasnya.