Malang, SERU.co.id – Nyala api menelan 26 tubuh warga Tionghoa di sebuah pabrik tua di kawasan Mergosono, Malang, tahun 1947. Kabar burung menyebut warga Tionghoa memihak Belanda di tengah Agresi Militer yang panas dan penuh ketegangan. Mereka jadi seperti hewan buruan di hutan, digiring, dibunuh, lalu dibakar, tanpa pengadilan, tanpa ampun.
Arsiparis Pertama Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Geza Surya Pratiwi menyebut, kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Malang tidak sebatas tragedi satu malam. Sejak zaman kolonial, mereka sudah sering diposisikan sebagai kelompok perantara.
“Warga Tionghoa tidak sepenuhnya diterima oleh pribumi. Justru dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk kepentingan ekonomi. Muncul stigma, kecemburuan, bahkan kebencian terhadap Tionghoa yang dianggap diuntungkan secara ekonomi,” seru Geza, dalam artikel ‘Kekerasan Terhadap Golongan Tionghoa pada Masa Revolusi di Malang, 1945–1949’.
Namun, badai stigma dan ketidakadilan tak cukup sampai di situ. Memasuki era kemerdekaan, serangkaian kebijakan diskriminatif mempersempit ruang hidup komunitas Tionghoa. Mereka harus memilih status kewarganegaraan yang rumit. Bahkan dilarang berdagang di pedesaan lewat Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959.
Koordinator Tim Kajian Etnik Tionghoa BRIN, Nina Andriana mengatakan, etnik Tionghoa memang belum setara dalam ‘Rumah Indonesia’. Stigma-stigma etnik Tionghoa masih sangat melekat di masyarakat Indonesia.
“Guru-guru sekolah sepakat, penting memasukkan informasi peran etnik Tionghoa dalam sejarah bangsa di bahan ajar. Apakah itu bahan ajar yang disediakan sendiri oleh guru atau dalam buku ajar,” ungkap Nina, dikutip dari Historia, Selasa (22/7/2025).
Menulis Ulang Narasi Tionghoa-Indonesia
Universitas Ma Chung menyadari pentingnya menulis ulang narasi tentang Tionghoa-Indonesia. Stigma negatif terhadap warga Tionghoa perlu diubah melalui pendidikan dan kebudayaan. Inilah semangat yang melahirkan Universitas Ma Chung, simbol keberagaman, inklusivitas dan semangat kebangsaan.
“Rekonsiliasi sejati lahir ketika pelaku dan korban mengerti bahwa perjanjian damai hanyalah langkah awal. Tanpa keberanian untuk mengubah cara pandang mereka terhadap pihak lain, kedamaian sejati tetap sulit diwujudkan,” tulis Alif dalam buku ‘Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice’.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Ma Chung, Dr Felik Sad Windu Wisnu Broto SS MHum menjelaskan, Ma Chung bukan sekadar universitas. Ia adalah warisan sejarah, buah dari tekad sekelompok warga Tionghoa yang pernah merasakan getirnya penjara pada masa pendudukan Jepang.
“Dari balik jeruji besi itulah lahir janji, kelak jika bebas, mereka membangun sekolah agar generasi berikutnya tidak mengalami nasib sama. Janji itu terwujud dengan berdirinya SMP dan SMA Ma Chung pada 1946. Meski sempat ditutup karena gejolak politik, semangat alumni tak padam, pada 2007 Ma Chung bangkit kembali dengan mendirikan universitas,” urai Felik, dosen Prodi Manajemen keahlian Human Resource Management dan Legal ini.
Sesuai dengan mottonya, ‘minum air, ingat sumbernya’, Ma Chung lahir dari semangat mengenang akar sejarah dan memberi kembali kepada bangsa. Didirikan oleh 90 tokoh Tionghoa-Indonesia, figur-figur yang telah sukses di berbagai bidang. Wujud jangan melupakan sejarah (jas merah) sebagai fondasi perjalanan Universitas Ma Chung sebagai kampus berdampak dan berkelanjutan.
“Beberapa di antaranya adalah Alim Markus, pengusaha nasional sekaligus pemilik Maspion Group; Mochtar Riady, bankir dan pendiri Lippo Group; dan Teguh Kinarto, bos Podo Joyo Masyhur. Mereka mendirikan universitas ini sebagai bentuk panggilan sejarah dan tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ungkap Felik.
Lebih lanjut, Felik menegaskan, lulusan Ma Chung tidak hanya dijamin mendapatkan ijazah, tetapi juga masa depan. Universitas ini memiliki komitmen kuat untuk menyalurkan lulusannya ke dunia kerja.
“Para pendiri Ma Chung turut membuka akses magang dan lapangan kerja di perusahaan mereka masing-masing. Menjadikan jaringan alumni dan pendiri sebagai jembatan nyata antara pendidikan dan dunia profesional,” kata Felik.
Kini, Ma Chung tidak hanya menjadi pusat pendidikan berkualitas, tetapi juga upaya mempererat hubungan antarbudaya Indonesia-Tiongkok. Salah satu kontribusinya adalah inisiatif mendirikan Kampung Bahasa Mandarin di Dusun Tumpuk, Tulungagung. Sebuah program kursus kilat tiga bulan yang dilengkapi dengan native speaker dari Tiongkok.
Program ini tidak hanya mengangkat keterampilan bahasa, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat melalui kos-kosan, kuliner dan ekonomi kreatif.
Akulturasi Budaya Tionghoa-Indonesia dan Toleransi Multikultural
Tak berhenti di situ, Universitas Ma Chung juga menjadi tuan rumah ajang Chinese Bridge 2025. Sebuah kompetisi internasional bergengsi, menguji kemampuan bahasa Mandarin siswa dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Bahkan sudah rutin digelar sejak 2002 untuk mahasiswa dan 2008 untuk siswa sekolah menengah.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Ma Chung, Prof Dr Ir Stefanus Yufra M Taneo MS MSc menyampaikan, apresiasi kepada semua pihak yang terlibat Chinese Bridge 2025. Ia mengingatkan, jangan hanya melihat siapa yang menang.
“Makna sesungguhnya dari kegiatan ini adalah untuk menjalin pertukaran budaya antara Tiongkok dan Indonesia. Semua peserta yang hadir adalah duta budaya kedua negara,” ujar Rektor ke-4 Universitas Ma Chung ini.
Komitmen terhadap inklusivitas dan pelestarian budaya pun tampak dalam gelaran tahunan Festival Kampung Pecinan. Dimana kini berevolusi menjadi Chinese Indonesian Festival (ChiFest). Festival ini menjadi wadah pertemuan budaya Tionghoa dan Indonesia dalam satu panggung kesenian dan kuliner.
“ChiFest bisa dinikmati semua usia dan golongan. Nantinya akan ada pertunjukan barongsai, pameran lukisan dan traditional Chinese medicine, hingga konser musik Asian Music and Custom Festival. Lewat ChiFest, Ma Chung ingin menunjukkan bahwa budaya Tionghoa-Indonesia bukanlah budaya eksklusif,” ujar Ketua Panitia ChiFest 2025, Erica Andriana SE MM.
Festival Kampung Pecinan atau ChiFest 2025 siap digelar menyambut perayaan 18 tahun Universitas Ma Chung. Sekaligus wujud kampus toleransi multikultural Tionghoa-Indonesia, dan budaya lokal lainnya.
Mahasiswa UIN Malang asal Sumatera Utara, Zulfadli Harahap menyatakan, mendapat pengalaman dan pengetahuan berharga tentang kebudayaan Tionghoa.
“Di daerah asal saya tidak ada warga keturunan Tionghoa. Selama tujuh tahun mondok di pesantren, saya jarang bersentuhan dengan budaya mereka. Saat mengikuti Festival Kampung Pecinan di Ma Chung, saya bisa melihat pertunjukan Barongsai secara langsung. Saya baru tahu bahwa budaya Tionghoa ternyata kental bersanding dengan nilai-nilai Islam,” kata Zul, sapaan akrabnya.
Bahkan dalam pertunjukan Barongsai terselip banyak pesan yang bisa diteladani. Dimana ada kekompakan dan perpaduan gerak antara pemain depan, tengah dan belakang, laiknya Tut Wuri Handayani. Di depan memberikan contoh untuk diikuti, di tengah untuk membersamai dan di belakang untuk mendorong serta menjadi tumpuan.
“Semua pemain terbagi beberapa tugas dan peran masing-masing. Namun semuanya berpadu laiknya orkestra dengan penampilan yang mampu menghipnotis penonton berdecak kagum,” ungkapnya.
Pengunjung lainnya, Intan Kristiani mengaku, sangat senang bisa menghadiri festival tersebut. Baginya, acara ini tidak hanya menampilkan kekayaan budaya. Namun juga menunjukkan potret keindahan keberagaman dari sisi budaya, suku, hingga agama.
“Toleransi terasa begitu nyata di sini. Saat adzan berkumandang, semua kegiatan dihentikan sejenak sebagai bentuk penghormatan. Makanan halal dan non-halal dipisahkan. Selain itu, banyak jajanan lezat yang membuat pengunjung bisa menikmati suasana sambil menyaksikan pertunjukan,’” ujarnya, usai menyaksikan festival pada tahun 2024 lalu.
Bersinergi untuk Berdampak dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045
Tak hanya di bidang kebudayaan, Universitas Ma Chung terus berkembang menjadi kampus yang mengabdikan riset dan keilmuan bagi masyarakat. Serta mendedikasikan diri untuk kemajuan Indonesia dan mewujudkan Indonesia Emas 2045. Semangat ini tecermin dari berbagai penelitian dan pengabdian dengan tujuan menciptakan perubahan nyata di berbagai sektor kehidupan.
Dari sektor ekonomi, Universitas Ma Chung menggelar business matching antara pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) Kabupaten Malang dengan calon pembeli dari Malaysia. Langkah ini diharapkan dapat memperluas peluang ekspor bagi produk lokal.
“Potensi IKM Kabupaten Malang sangat besar. Di era pascapandemi, potensi ini harus dioptimalkan, agar mampu membawa perubahan dan kemajuan ekonomi di Kabupaten Malang,” jelas Prof. Yufra, dosen Prodi Magister Manajemen Inovasi ini.
Universitas Ma Chung juga mengambil langkah strategis dalam menjawab tantangan dunia usaha dengan membuka Prodi Hukum Bisnis. Langkah ini menjadi bentuk konkret dari visi kampus untuk menjembatani dunia akademik dan dunia industri secara lebih erat.
“Inspirasi pembukaan prodi ini datang dari pengalaman nyata para pendiri Universitas Ma Chung. Salah satu pendiri kami pernah berkata, ‘Saya harus paham hukum agar bisnis keluarga ini berkelanjutan.’ Kalimat ini menjadi pelajaran besar bagi kami,” tutur pria asal Soe, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.
Prodi Hukum Bisnis ini diharapkan menjadi jawaban atas kebutuhan pelaku usaha. Khususnya generasi penerus bisnis keluarga, agar mampu memahami aspek legal demi keberlangsungan dan pertumbuhan bisnis yang sehat.
Kesetaraan bagi penyandang disabilitas juga menjadi salah satu fokus penting Universitas Ma Chung. Realitas di lapangan menunjukkan, 63 persen penyandang disabilitas memilih berwirausaha, karena keterbatasan akses pasar tenaga kerja. Menjawab persoalan ini, Guru Besar Teknik Informatika Ma Chung, Prof Dr Eng Romy Budhi ST MT MPd menggagas program inklusi dengan mengembangkan mouse khusus untuk tunadaksa.
“Kami menggandeng komunitas difabel LinkSos Indonesia untuk memproduksi mouse tersebut secara massal. Inovasi ini diharapkan tak hanya bermanfaat di Malang. Namun juga bagi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia hingga mancanegara,” ujarnya.
Inovasi serupa juga datang dari mahasiswa Teknik Informatika Ma Chung. Mereka berhasil mengembangkan teknologi machine learning untuk mendeteksi dan mengklasifikasikan bahasa isyarat BISINDO. Proyek ini lahir dari tugas akhir, membuktikan bahwa kampus menjadi laboratorium ide-ide sosial nyata.
“Proses penelitian ini tidak mudah, karena saya bahkan belum pernah belajar bahasa isyarat. Namun, saya ingin penelitian ini memberi kontribusi nyata dan menginspirasi pengembangan teknologi masa depan,” kata Nico Alexander, pengembang machine learning tersebut.
Komitmen Universitas Ma Chung juga tampak nyata pada bidang kesehatan dengan dibukanya Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker. Program ini ditunjang dengan pendirian apotek dan OSCE Ma Chung sebagai pusat pembelajaran kefarmasian yang siap menghadapi tantangan global. Fakultas Ilmu Kesehatan bahkan tengah menyiapkan dapur gizi masyarakat untuk mengatasi masalah stunting di Malang Raya.
Seperti pepatah ‘jika ingin cepat berjalanlah sendirian, jika ingin jauh berjalanlah bersama’, Universitas Ma Chung menggandeng media Malang Raya. Rektor Universitas Ma Chung, Prof. Yufra, mengapresiasi dan menyadari peran media selama ini membantu menggaungkan inovasi dan kontribusi kampus.
“Sebagai aktor penting dalam pentahelix, saya berterima kasih kepada media. Karena turut menyampaikan informasi tentang kegiatan dan visi universitas. Akhirnya pesan-pesan positif ini lebih mudah diterima masyarakat,” ujarnya.
Dengan sinergi antara dosen, mahasiswa, industri dan media, Universitas Ma Chung terus membuktikan dirinya sebagai kampus yang hadir dan berdampak untuk masyarakat. Fokusnya tidak hanya pada mencetak lulusan unggul dan siap kerja. Namun juga menciptakan solusi nyata untuk berbagai persoalan, dari ekonomi lokal, kesehatan, hingga teknologi inklusif.
Seperti diungkapkan oleh Gusdur, tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agama dan sukumu. (afi/rhd)