Malang, SERU.co.id – Berdasarkan data BPS 2024, suku Batak menjadi kelompok etnis dengan persentase lulusan sarjana terbanyak di Indonesia, mencapai 18,02 persen. Gelombang migrasi akademik ini bukanlah fenomena baru. Ribuan mahasiswa dari berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Utara memilih Malang setiap tahunnya. Mereka tergabung dalam berbagai organisasi berbasis daerah maupun agama, dengan Forum Mahasiswa Sumatera Utara (FORMASU) sebagai induk yang menaunginya.
Bagi banyak mahasiswa perantau, Malang adalah rumah kedua. Kota ini menawarkan pendidikan berkualitas dengan sejumlah universitas ternama, seperti Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Islam Malang (UNISMA), hingga Politeknik Negeri Malang (Polinema).
Alamsyah Gautama Rambe menjadi salah satu dari ribuan pelajar asal Sumatera Utara yang menjadikan Malang sebagai tanah rantau. Ia bercerita, bagaimana Kota Malang membentuknya selama bertahun-tahun.
“Malang ini indah. Geografisnya lebih asri, biaya hidup terjangkau dan lingkungannya kondusif untuk belajar,” seru mahasiswa Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini, Minggu (23/2/2025).
Sambil memandangi jalanan basah, ia membayangkan kampung halamannya yang telah empat tahun tak dikunjungi.
“Musim hujan begini, rindu rumah rasanya melampaui batas rasional. Suara ibu, dinamika kedaerahan, semua itu membuat rindu meracau kacau di hati saya,” katanya pelan.
Senada, Nur Anisah Rizky Harahap, mahasiswa Teknologi Industri Pertanian UB mengakui, kualitas pendidikan tinggi di Malang menjadi daya tarik tersendiri.
“Kualitas dosennya baik, akreditasi internasionalnya kuat, dan kurikulumnya relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, suasana kota yang aman dan masyarakat yang suportif membuat saya merasa nyaman merantau sejauh ini,” urai Anisah, sapaannya.
Malang bukan hanya tentang akademik. Destinasi wisata dan kuliner menjadi faktor lain yang membuat kota ini semakin menarik bagi mahasiswa Sumatera Utara. Alamnya indah, dari pantai hingga pegunungan dan suhu udaranya sejuk. Bagi Alamsyah, Malang telah menjadi tempat pembentukan diri.
“Kalau saya kuliah di Jakarta, mungkin saya sudah jadi politisi. Kalau di Yogyakarta, mungkin saya jadi filsuf. Kalau di Medan, mungkin saya sudah bergabung dengan Pemuda Pancasila. Tapi karena saya di Malang, saya menjadi diri saya sendiri,” katanya, setengah bercanda.
Sementara itu, bagi Anisah, merantau adalah bagian dari proses menemukan jati diri. Ia mengaku, keluar dari Pulau Sumatera bukan hal mudah, terlebih sebagai seorang perempuan.
“Apalagi dengan perbedaan budaya yang cukup besar. Tapi di Malang, saya bisa berinteraksi dengan banyak mahasiswa asal Sumatera Utara. Membuat saya merasa lebih aman dan nyaman,” tambahnya.
Bagi mereka, pulang kampung bukan hal yang bisa sering dilakukan. Anisah hanya pulang sekali dalam setahun, saat Lebaran Idul Fitri, sementara Alamsyah sudah empat tahun tak kembali ke Sumatera Utara. Namun, di balik kerinduan yang mendalam, Malang tetap menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang.
“Setelah lulus, saya mungkin akan tinggal di Malang beberapa tahun lagi sebelum pindah kota. Malang sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya yang tak tergantikan,” ujar Alamsyah
Meskipun mahasiswa Sumatera Utara berkontribusi besar dalam dunia akademik dan keorganisasian di Malang, hingga kini belum ada kebijakan atau program khusus dari pemerintah Sumatera Utara untuk mendukung mereka. Anisah berharap, ke depannya ada lebih banyak perhatian dari pemerintah daerah asal mereka.
“Kami berharap ada beasiswa atau program bantuan bagi mahasiswa perantau agar lebih banyak anak-anak Sumatera Utara yang bisa mengenyam pendidikan tinggi di kota ini,” harapnya. (afi/mzm)