Pada kesempatan yang sama, hal menarik lain disampaikan oleh Habib Huesin Ja’far Al Hadar. Menurutnya, moderatisme di tubuh Muhammadiyah sudah sangat baik. Muhammadiyah dinilai inklusif dan terbuka bagi semua kalangan, bahkan sudah menjadi ciri awal sejak organisasi ini berdiri.
Terkait Islam Wasathiyah, Habib Ja’far mengatakan, moderatisme atau wasathiyah bukan berarti tidak memihak pada siapapun. Namun, layaknya wasit yang berdiri di tengah, Muhammadiyah melihat ke kanan dan ke kiri secara fair, tidak bias ke kanan maupun ke kiri. Muhammadiyah akan menilai suatu keadaan yang berdiri di hal yang benar.
“Adapun moderatisme pada dasarnya bagian integral paling mendasar dari Islam. Jadi kemunculannya bukan karena terorisme atau radikalisme,” katanya.
Habib Ja’far menyebut, sederet implementasi moderatisme dalam Muhammadiyah, mulai dari moderatisme ekonomi yang mencegah kemiskinan hingga moderatisme pendidikan. Dengan puluhan ribu lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah, termasuk UMM dan 174 perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah lainnya. Moderatisme moral yang dibuktikan dengan sikap integritas yang tinggi, anti korupsi, disipilin dan lainnya.
Moderatisme sosial Muhammadiyah sangat baik, bisa dilihat dari keterbukannya yang bagus, contohnya persentase mahasiswa non-muslim di Muhammadiyah Kupang mencapai 70 persen lebih. Kemudian tiga aspek terakhir, yakni moderatisme Muhammadiyah dalam aspek dakwah, kebangsaan, serta gender.
“Mungkin satu masukan yang bisa didiskusikan lebih lanjut di Muktamar Muhammadiyah nanti adalah moderatisme digital. Saya seringkali hadir di forum digital, tapi susah sekali menemui orang-orang Muhammadiyah yang jadi dai digital. Padahal tantangan dan medan perang utama ada di sini, hampir 63% orang itu belajar Islam lewat platform digital,” pesan Habib Ja’far.
Bahkan menurut riset, lanjut Habib Ja’far, masyarakat Indonesia rata-rata menggunakan 8,5 jam untuk gawainya. Maka ini menjadi hal yang penting untuk segera didiskusikan dan dicari strateginya.