TKA: Siap Tes, Tapi Siapa yang Siap Stres?

TKA: Siap Tes, Tapi Siapa yang Siap Stres?

*)Oleh: Maratul Ulumiyah
Guru Geografi SMA Islam Sabilillah Malang Boarding School Sistem Pesantren

Pagi itu, saya mengucapkan, “Selamat datang di kelas XII.” Suasananya terasa tegang dan hening. Wajah-wajah mereka tampak memikul beban yang berat. Dari pojok ruangan terdengar suara pelan, “Bu, TKA itu susah ya?” Saya menatap wajah-wajah yang tak asing anak-anak yang dulu ceria di kelas XI kini tampak ragu dan khawatir. Beberapa menunduk, sebagian lainnya mencatat tanpa semangat. Kelas yang biasanya hangat kini terasa dingin, penuh tekanan yang tak kasat mata.

Bacaan Lainnya

Pertanyaan itu sederhana, tetapi menyentak. Tahun ajaran baru bukan lagi sekadar permulaan materi pelajaran, tetapi menjadi babak baru perjuangan menghadapi Tes Kemampuan Akademik (TKA), salah satu komponen penting dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025.

Sebenarnya, siswa tidak sepenuhnya tidak siap. Sejak kelas X, berbagai mata pelajaran telah memberikan latihan soal, kuis, ulangan harian, serta kegiatan pembelajaran berbasis literasi dan numerasi. Namun, hal tersebut belum cukup. Yang masih kurang adalah konsistensi dan kedalaman latihan bernalar, serta penyelarasan pendekatan pembelajaran dengan karakter soal-soal TKA.

Menurut survei Pusat Asesmen Pendidikan Kemdikbudristek (2023), lebih dari 78% siswa kelas XII mengaku cemas bahkan sebelum mereka benar-benar memahami bentuk soal TKA. Ironisnya, banyak guru juga belum mendapatkan pelatihan teknis terkait soal SNBT, terutama TKA yang berfokus pada penalaran, bukan hafalan.

Sebagai guru Geografi, saya memahami tantangan yang dihadapi siswa dalam menghadapi Tes Kemampuan Akademik (TKA). Kurikulum saat ini memang belum secara langsung melatih keterampilan khusus yang diujikan dalam TKA, dan akses terhadap bimbingan tambahan belum merata di semua sekolah. Namun, justru inilah momentum bagi kita, para pendidik, untuk berinovasi dalam pembelajaran dan mendampingi siswa lebih intensif. Meski aturannya berubah, semangat belajar dan kesiapan mental siswa tetap bisa kita bangun bersama.

Sebuah penelitian oleh Putri & Musadad (2023) mencatat bahwa 92,9% siswa mengalami kecemasan ringan terhadap perubahan sistem seleksi, dan 7,1% lainnya mengalami kecemasan sedang. Perubahan dari SBMPTN ke SNBT, khususnya pergeseran dari hafalan ke penalaran, turut memperbesar tekanan siswa. Sumber lain seperti artikel Ruangguru (2024) menekankan bahwa TKA kini berfokus pada kemampuan berpikir kritis, bernalar logis, dan literasi data. Hal ini sejatinya adalah arah yang tepat untuk menyiapkan generasi berpikir tinggi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa siswa merasa tidak siap secara mental maupun teknis.

Kesenjangan akses terhadap bimbingan TKA juga menjadi masalah serius. Siswa di kota besar dengan akses ke bimbel berbayar relatif lebih siap dibandingkan siswa dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Putri dkk. (2022) mencatat bahwa banyak siswa masih bergantung pada les tambahan, sementara siswa dari keluarga kurang mampu sering kali belajar mandiri dari internet tanpa panduan yang jelas. Penelitian lain oleh Hidayat dkk. (2023) menyatakan bahwa mayoritas siswa berada pada tingkat kecemasan ringan hingga sedang. Sementara itu, Lacosta & Sarajar (2024) menyimpulkan bahwa 56,6% siswa mengalami kecemasan sedang, dan kepercayaan diri (self-efficacy) terbukti berdampak meskipun dengan korelasi lemah.

Kesenjangan ini menyebabkan tekanan psikologis yang nyata. Banyak siswa merasa tertinggal bahkan sebelum “berlari.” Dalam survei Prastiwi & Handayani (2023), lebih dari 50% siswa kelas XII mengaku tidak percaya diri menghadapi soal penalaran SNBT. Akibatnya, mereka belajar dengan cara yang tidak terarah dan menambah beban mental. Tantangan juga dirasakan guru. Dalam studi Lestari & Fitriah (2023), hanya 41,2% guru menyatakan pernah mendapatkan pelatihan khusus soal SNBT. Mayoritas belajar secara mandiri melalui forum daring atau media sosial. Padahal, pendampingan yang tepat dari guru sangat krusial bagi siswa untuk memahami pola soal dan strategi menjawab. Di sinilah peran penting kebijakan pendidikan. Sistem seleksi seharusnya tidak hanya menuntut kesiapan siswa, tetapi juga kesiapan ekosistem pendidikan di sekolah.

Pertama, sekolah perlu diberi ruang kurikulum yang lebih fleksibel agar pembelajaran sehari-hari dapat mengasah daya nalar, bukan sekadar mengejar capaian kurikulum. Latihan soal TKA bisa terintegrasi dalam proses belajar, bukan hanya saat persiapan menjelang UTBK.

Kedua, pemerintah perlu memperluas dan meratakan pelatihan guru secara terstruktur, termasuk penyediaan modul, pelatihan daring, serta forum komunitas guru. Jangan sampai pelatihan hanya dinikmati oleh guru di wilayah perkotaan.

Ketiga, sekolah perlu memperkuat layanan konseling dan pembinaan karakter. Self-efficacy, manajemen stres, dan motivasi belajar harus dibangun sejak dini. Seleksi PTN bukan hanya tentang siapa yang lulus, tetapi bagaimana siswa bisa tetap berkembang sebagai individu yang sehat secara mental dan sosial.

TKA mungkin tidak bisa dihindari, tetapi stres bisa dikelola. Bila seleksi nasional bertujuan menjaring generasi tangguh, maka prosesnya juga harus mendukung ketangguhan itu, bukan justru menjadi sumber kecemasan kolektif. Kini saatnya kita mengubah cara pandang. SNBT bukan sekadar ajang seleksi, melainkan momen penting untuk membentuk generasi yang berpikir kritis, percaya diri, dan sehat secara emosional. Bukan hanya siswa yang pintar menjawab soal, tetapi siswa yang yakin bahwa dirinya mampu tumbuh dan belajar di mana pun ia berada.

 

disclaimer

Pos terkait