Fenomena Cerai Pasca Jadi Guru PPG: Apa yang Terjadi?

Fenomena Cerai Pasca Jadi Guru PPG: Apa yang Terjadi?
ilustrasi ibu-ibu guru. (foto:ist)

*)Oleh: Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I
Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UM Surabaya & Ketua Forum Dosen Surabaya (FORDES)

“Sejak dia lulus PPG dan jadi guru bersertifikat, rumah tangganya malah retak.”

Pernyataan semacam itu kerap terdengar di kalangan guru atau masyarakat sekitar, mencerminkan satu fenomena sosial yang diam-diam sering terjadi namun jarang dibicarakan secara terbuka: perceraian pasca menjadi guru PPG (Pendidikan Profesi Guru).

Bacaan Lainnya

Secara kasat mata, menjadi guru profesional adalah sebuah kemajuan baik secara ekonomi, status sosial, maupun simbolik. Tapi mengapa dalam sejumlah kasus, justru status baru ini beriringan dengan keretakan rumah tangga? Apakah ini soal ketidakmampuan menjaga keseimbangan antara karier dan keluarga? Atau ada dinamika sosial yang lebih dalam?

Untuk memahami ini, kita bisa meminjam lensa interaksionisme simbolik, sebuah teori dalam ilmu sosial yang menekankan bahwa identitas dan relasi sosial dibentuk lewat makna-makna yang muncul dari interaksi sehari-hari.

Guru PPG dan Identitas Baru

Pendidikan Profesi Guru (PPG) bukan hanya program pelatihan pedagogik. Ia juga menciptakan transformasi identitas. Seseorang yang sebelumnya adalah mahasiswa, atau guru honorer dengan status yang seringkali terpinggirkan, kini mendapatkan pengakuan resmi sebagai pendidik profesional. Sertifikat PPG bukan hanya dokumen, tetapi simbol baru yang membawa legitimasi, gengsi, dan ekspektasi sosial yang lebih tinggi.

Dari kacamata interaksionisme simbolik, ini adalah proses penyandangan peran sosial baru. Individu tidak hanya “menjadi guru”, tetapi mulai memainkan simbol guru dalam relasi sosialnya—termasuk di dalam rumah tangga.

Ketimpangan Simbol dan Relasi Rumah Tangga

Perubahan ini tak jarang menciptakan ketimpangan simbolik dalam relasi suami-istri, terutama bila pasangan tidak mengalami perubahan status atau penguatan peran yang sepadan. Dalam sejumlah kasus, istri yang sebelumnya dianggap “biasa saja” kini berubah menjadi guru profesional yang diakui, memiliki penghasilan tetap, disegani di komunitas, dan mulai mendapat ruang baru dalam pengambilan keputusan.

Sebaliknya, pasangan mungkin mengalami kegoncangan peran. Ia merasa kehilangan dominasi simbolik atau menjadi “kalah pamor.” Ketegangan pun muncul: komunikasi terganggu, kecurigaan meningkat, hingga konflik identitas dalam keluarga tidak lagi tertahankan.

Kondisi ini memperkuat temuan dalam kajian sosiologi bahwa perceraian tidak melulu dipicu oleh faktor ekonomi atau perselingkuhan, tetapi juga oleh kesenjangan simbolik yang terjadi saat salah satu pihak mengalami mobilitas sosial yang cepat—sementara yang lain tertinggal.

Ekspektasi Baru, Beban Ganda

Lulus PPG juga berarti lahirnya harapan baru dari masyarakat: guru harus menjadi contoh, baik dalam kehidupan publik maupun privat. Di sinilah banyak guru merasa terjebak dalam dua dunia: menjalankan peran simbolik sebagai guru ideal di luar, dan memainkan peran domestik sebagai pasangan atau orang tua di dalam rumah.

Tekanan untuk tampil sempurna di ruang sosial, sementara tidak semua pasangan siap berbagi peran atau memberi dukungan yang cukup, membuat konflik domestik tak terhindarkan. Guru—terutama perempuan—kerap mengalami beban ganda, dan ketika komunikasi gagal, perceraian menjadi pilihan pahit yang diambil.

Bukan Perubahan yang Salah, Tapi Sistem yang Belum Siap

Penting untuk menegaskan: bukan status guru PPG yang menyebabkan perceraian, melainkan sistem sosial yang belum siap mendukung perubahan itu. Kita sering lupa bahwa ketika seseorang naik kelas sosial, dibutuhkan penyesuaian kolektif, bukan hanya personal.

Masyarakat dan keluarga masih memandang transformasi identitas sebagai sesuatu yang individualistik—“kamu berubah,” “kamu jadi sombong,” “kamu tak seperti dulu.” Padahal, perubahan identitas (dari istri biasa menjadi guru profesional, misalnya) adalah sesuatu yang wajar dan seharusnya diterima sebagai bagian dari dinamika hidup bersama.

Kesimpulan: Perceraian Guru PPG adalah Cermin Ketimpangan Sosial-Relasional

Melalui perspektif interaksionisme simbolik, kita melihat bahwa perceraian pasca menjadi guru PPG bukan sekadar urusan rumah tangga. Ia mencerminkan adanya gesekan simbolik, ketimpangan peran, dan krisis makna dalam relasi sosial. Fenomena ini memperlihatkan bahwa setiap perubahan status sosial memerlukan kesiapan bukan hanya dari individu, tetapi juga dari lingkungan sosial terdekatnya.

Alih-alih menyalahkan guru yang “berubah” setelah lulus PPG, kita perlu membangun sistem relasi yang sehat—di keluarga, sekolah, dan masyarakat—agar transformasi sosial tidak berujung pada konflik, tetapi menjadi peluang untuk tumbuh bersama. (*)

Pos terkait