Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Indonesia merupakan negeri kepulauan yang kaya akan warisan budaya, termasuk dalam bidang literasi keislaman. Di antara sekian banyak manuskrip yang ditemukan di berbagai daerah, naskah Hikayat Nabi Muhammad dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, menempati posisi yang unik dan istimewa.
Naskah ini bukan sekadar catatan biografi Nabi Muhammad SAW, melainkan juga representasi dari proses akulturasi Islam dengan budaya lokal. Salah satu hal yang membuat manuskrip ini unik adalah penggunaan aksara Lontara, yaitu aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar yang ditulis dari kiri ke kanan tanpa spasi antarkata.
Manuskrip Hikayat Nabi Muhammad merupakan salah satu peninggalan berharga dari masa lalu yang ditulis dalam bentuk hikayat atau cerita panjang. Naskah ini terdiri atas 60 halaman, dengan dimensi kertas 21,5 x 17 cm, blok teks berukuran 18 x 12,3 cm, dan sampul sebesar 20,5 x 16 cm. Naskah ini ditulis dalam dua bahasa, yakni Arab dan Makassar, menggunakan arah penulisan dari kanan ke kiri.
Berdasarkan kajian metadata, manuskrip ini diperkirakan berasal dari periode antara tahun 1850 hingga 1950, dan kini tersimpan dalam koleksi pribadi milik Syarifuddin di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Naskah ini diperoleh melalui program pelestarian manuskrip dari media Dreamsea dan didokumentasikan oleh lembaga HMML (Hill Museum & Manuscript Library).
Salah satu keunikan dari manuskrip ini adalah adanya tulisan awal yang menyerupai aksara Lontara. Aksara Lontara adalah sistem tulisan tradisional Bugis-Makassar yang tergolong abugida, yakni setiap huruf mengandung vokal dasar. Aksara ini memiliki 23 aksara dasar dan tidak mengenal tanda pemati vokal (virama).
Penulisannya dilakukan dari kiri ke kanan dan biasanya tanpa spasi antar kata. Keberadaan aksara Lontara dalam sebuah manuskrip keagamaan menunjukkan bahwa masyarakat lokal memiliki tingkat literasi tinggi dan menjadikan budaya tulis sebagai bagian penting dalam proses transmisi ajaran agama.
Isi dari manuskrip Hikayat Nabi Muhammad mengangkat kisah hidup Nabi Muhammad SAW dalam bentuk naratif khas hikayat. Cerita-cerita di dalamnya memuat peristiwa penting seperti kelahiran Nabi, masa remaja, proses kenabian, mukjizat, perjuangan dakwah, hingga nilai-nilai akhlak mulia yang dijadikan teladan oleh masyarakat Islam.
Dengan gaya tutur yang sederhana dan kontekstual, manuskrip ini sangat relevan digunakan sebagai sarana pembelajaran keagamaan di kalangan masyarakat awam, khususnya di daerah Sulawesi Selatan. Bentuk narasi hikayat menjadikan penyampaian ajaran Islam terasa dekat, akrab, dan membumi.
Kehadiran hikayat ini dalam dua bahasa Arab dan Makassar dengan aksara lokal menunjukkan adanya proses islamisasi yang inklusif. Islam tidak datang untuk menggantikan budaya, tetapi justru bersinergi dengan tradisi yang sudah ada. Dakwah dilakukan dengan pendekatan budaya dan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat, menjadikan nilai-nilai Islam lebih mudah diterima dan dipraktikkan.
Fenomena ini membuktikan bahwa proses islamisasi di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, sangat erat kaitannya dengan strategi komunikasi yang bijaksana dan adaptif.
Dari sisi filologi, naskah ini sangat penting untuk dikaji karena menawarkan banyak hal, seperti bentuk bahasa Makassar klasik, campuran kosakata Arab, penggunaan aksara Lontara, hingga struktur naratif yang merefleksikan budaya lokal. Melalui kajian filologis, para peneliti dapat mengkaji asal-usul teks, varian naratif, serta bagaimana cerita ini berkembang dan disalin ulang oleh generasi sebelumnya.
Selain itu, manuskrip ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat lokal memelihara tradisi tulis dengan penuh perhatian, terbukti dari kondisi naskah yang masih relatif baik. Tidak hanya itu, pelestarian manuskrip ini melalui media online yang bernama Dreamsea menjadi langkah penting dalam menyelamatkan warisan literasi yang nyaris punah.
Digitalisasi dan katalogisasi naskah seperti ini memungkinkan generasi mendatang untuk tetap mengakses sumber-sumber keilmuan tradisional yang pernah hidup dalam budaya mereka sendiri. Ini sekaligus menjadi pengingat bahwa literasi Islam di Indonesia tidak hanya ditulis dalam bahasa Arab, tetapi juga dalam bahasa daerah dengan aksara lokal yang kaya makna.
Melalui Hikayat Nabi Muhammad, kita dapat melihat bahwa nilai-nilai keislaman telah lama berakar dalam masyarakat Sulawesi Selatan dan dipraktikkan melalui cara yang khas. Manuskrip ini bukan hanya sumber sejarah atau dokumen keagamaan, tetapi juga cermin identitas budaya yang menjadikan Islam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Perpaduan antara aksara Lontara, bahasa Makassar, dan kisah kenabian menjadikan naskah ini sebagai warisan istimewa yang perlu terus dijaga, dikaji, dan dikenalkan kepada generasi muda. Dengan demikian, Hikayat Nabi Muhammad adalah lebih dari sekadar kisah lama. Ia adalah simbol dari bagaimana Islam dan budaya lokal bisa hidup berdampingan secara harmonis.
Aksara Lontara dalam manuskrip ini bukan hanya alat tulis, tetapi juga penanda peradaban warisan yang menegaskan bahwa Islam di Nusantara tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan tumbuh bersama tradisi, bahasa, dan jati diri bangsa.