Haji Suci Dilumuri Tangan Kotor Korupsi: Ironi di Tengah Masyarakat Mayoritas Muslim

Haji Suci Dilumuri Tangan Kotor Korupsi: Ironi di Tengah Masyarakat Mayoritas Muslim
foto:ist.

*)Oleh: Gus Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Ketua Pusat Forum Dosen Indonesia (FoRDESI)

Ada yang sakral dalam setiap jengkal Tanah Suci. Ada air mata haru yang tumpah saat kaki pertama kali menginjak Masjidil Haram. Ada dada yang bergetar saat menatap Ka’bah. Dan tentu saja, ada niat yang sudah ditabung puluhan tahun, dikumpulkan dari remah-remah gaji, ditulis dalam doa usai salat subuh, dikejar dalam tiap lembur. Semuanya demi satu kata yang luhur: haji.

Sayangnya, di balik niat suci umat, ada tangan-tangan kotor yang malah melihat haji sebagai ladang proyek, bukan ladang ibadah. Dana haji, yang sejatinya adalah simpanan orang-orang kecil yang ingin besar di mata Tuhan, kini malah dicolek-colek, digesek sana-sini, dan disulap jadi bancakan elite yang lebih suka ziarah ke rekening bank daripada ke Jabal Rahmah.

Bukan rahasia lagi kalau biaya haji di negeri ini mahalnya bisa bikin amandel bengkak. Tapi tetap saja daftar tunggu haji mengular seperti antrean minyak goreng waktu krisis. Umat tetap semangat, karena haji bukan soal logika ekonomi. Ia soal iman. Maka ketika berita korupsi dana haji muncul, rasanya bukan hanya uang yang dirampok, tapi juga harapan. Bukan hanya angka yang digelapkan, tapi juga doa-doa yang dilangitkan.

Lucunya, atau lebih tepatnya: menyedihkannya, mereka yang diduga mencuri dana haji ini tetap tampil sopan. Jas rapi, peci mengkilap, dan pidato penuh embel-embel “amanah”, “akuntabel”, dan “transparan”. Ah, andai korupsi bisa hilang hanya dengan tiga kata ajaib itu, barangkali Indonesia sudah jadi surga fiskal sejak dekade lalu.

Saking seringnya kasus ini terulang, saya sampai curiga: jangan-jangan korupsi sudah masuk rukun negara. Setelah Pancasila, UUD, dan gotong royong, lalu disusul diam-diam oleh: “Korupsi yang penting elegan dan tidak terlalu gaduh.”

Sungguh ironis. Haji yang identik dengan kesucian dan kepasrahan diri kepada Tuhan, malah dikaitkan dengan proyek yang diwarnai negosiasi meja belakang, mark-up anggaran, dan sistem tender yang lebih gelap daripada lembah Makkah malam hari.

Dan korupsi dana haji bukan hanya soal kriminal. Ia soal pengkhianatan. Bayangkan, uang setoran haji yang dikumpulkan bertahun-tahun oleh simbok dari desa, yang menabung dari jualan pecel dan ngebon di koperasi desa, sekarang bisa nyangkut jadi cicilan Alphard pejabat. Sedih? Pasti. Tapi lebih dari itu, ini menjijikkan.

Sebagian dari kita mungkin mulai apatis. “Ah biasa, Indonesia gitu loh.” Tapi di sinilah masalahnya. Ketika korupsi dana haji pun kita anggap wajar, itu tandanya kita sudah tidak punya amarah yang cukup. Dan kalau rakyat sudah tidak marah melihat kesakralan diinjak, maka kita sedang bergerak pelan-pelan menuju negara tanpa nurani.

Padahal, haji adalah momen tahunan di mana jutaan orang berkumpul tanpa jabatan, tanpa pangkat, tanpa gelar. Semua dibikin sama rata. Di hadapan Allah, tak ada yang penting-penting amat kecuali ketulusan. Tapi di negeri kita, bahkan ibadah suci pun bisa dipakai untuk proyek mercusuar, pencitraan politik, hingga bancakan anggaran.

Mungkin benar kata orang bijak: di Indonesia, segala yang suci harus siap dicemari. Hutan suci dicemari tambang. Pendidikan suci dicemari pungli. Dan haji suci dicemari korupsi.

Maka jika suatu hari Anda melihat pejabat naik haji dengan rombongan VIP, difoto sedang mencium Hajar Aswad dengan senyum khidmat, coba tahan dulu haru Anda. Karena bisa jadi yang suci di sana cuma batu, bukan yang menciumnya.

Wallahu a’lam. Tapi yang pasti, Tuhan tidak buta. Dan doa-doa para calon haji yang ditipu—mungkin lebih lantang daripada sidang DPR. (*)

Pos terkait