Tamparan Guru Ngaji dan Denda 25 Juta: Antara Pendidikan, Kekerasan, dan Relasi Kuasa

Tamparan Guru Ngaji dan Denda 25 Juta: Antara Pendidikan, Kekerasan, dan Relasi Kuasa
Ilustrasi kehidupan di pondok pesantren. (foto:ist)

*)Oleh: Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I
Ketua Forum Dosen Indonesia (FoRDESI)

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kabar seorang guru ngaji yang didenda Rp25 juta oleh keluarga murid karena menampar anak didiknya. Peristiwa ini memicu perdebatan tajam: apakah ini bentuk kekerasan yang pantas dihukum, atau bagian dari “cara mendidik” yang telah lama hidup dalam tradisi pesantren dan pendidikan agama? Di tengah sorotan ini, kita perlu menganalisisnya secara lebih dalam melalui kacamata pendidikan modern dan dinamika relasi kuasa antara guru dan murid.

Perspektif Pendidikan: Antara Disiplin dan Kekerasan

Dalam dunia pendidikan kontemporer, segala bentuk kekerasan fisik terhadap anak—termasuk tamparan—secara prinsip dikecam. Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia secara tegas melarang kekerasan fisik dalam konteks pendidikan. Hal ini didasarkan pada banyak riset yang menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah metode efektif dalam membentuk karakter anak, melainkan justru berpotensi melahirkan trauma dan ketakutan jangka panjang.

Namun, di sebagian komunitas, termasuk dalam pendidikan agama tradisional, masih terdapat pemahaman lama bahwa tindakan fisik ringan seperti mencubit atau menampar dianggap sebagai bentuk “pendisiplinan” atau bahkan “kasih sayang keras”. Di sinilah terjadi benturan antara nilai tradisional dan standar pendidikan modern.

Relasi Kuasa: Guru sebagai Figur Otoritatif

Dalam konteks pendidikan agama, relasi antara guru ngaji dan santri cenderung bersifat hierarkis. Guru memiliki posisi sangat dihormati, bahkan sakral. Namun, relasi kuasa ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membangun rasa hormat dan kepatuhan. Di sisi lain, ia rentan disalahgunakan jika tidak dibatasi dengan prinsip-prinsip etika profesionalisme pendidikan.

Tamparan, dalam relasi kuasa yang timpang, bukan hanya tindakan fisik—melainkan simbol dominasi. Dalam masyarakat yang semakin melek hak anak, tindakan ini tidak bisa lagi dimaklumi sebagai “cara lama” mendidik. Murid adalah subjek pendidikan, bukan objek hukuman.

Denda sebagai Bentuk Perlawanan Sosial?

Denda Rp25 juta yang dijatuhkan keluarga murid bukan hanya reaksi terhadap rasa sakit fisik, melainkan mungkin juga bentuk perlawanan terhadap budaya pendidikan yang tidak adil. Ini adalah simbol dari pergeseran zaman: bahwa murid dan keluarganya kini memiliki keberanian untuk menolak kekerasan, bahkan dari figur sekuat guru ngaji.

Namun di sisi lain, pendekatan penyelesaian dengan “denda” juga tidak ideal. Pendidikan seharusnya menjadi ruang dialog, bukan ruang transaksional. Ketika masalah pendidikan diselesaikan dengan uang, ada risiko bahwa substansi persoalan tidak dibahas tuntas: bagaimana membangun relasi yang sehat antara guru dan murid? Apa standar etik yang harus dipatuhi dalam mengajar?

Solusi: Membangun Pendidikan yang Adil dan Manusiawi

Pertama, Pelatihan Etika Mengajar untuk Guru Ngaji dan Ustaz
Kementerian Agama dan lembaga keagamaan harus memberikan pelatihan tentang etika pendidikan dan perlindungan anak bagi para guru ngaji. Tradisi dan agama harus berjalan beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum negara.

Kedua, Mekanisme Mediasi yang Bijak
Daripada denda sepihak, perlu dibangun mekanisme penyelesaian konflik pendidikan berbasis mediasi yang melibatkan keluarga, guru, tokoh masyarakat, dan ahli pendidikan anak.

Ketiga, Perluasan Pemahaman Hak Anak di Komunitas Keagamaan
Banyak pelanggaran terjadi karena ketidaktahuan. Program literasi hak anak dan pendidikan non-kekerasan perlu diperluas ke pesantren, TPA, dan madrasah diniyah.

Menurut Saya, kasus ini bukan hanya soal tamparan atau denda. Ini adalah cerminan dari perubahan besar dalam masyarakat kita—bahwa pendidikan tidak bisa lagi dijalankan dengan cara-cara otoriter dan kekerasan fisik. Guru tetaplah panutan, tetapi panutan yang bijak, yang mendidik dengan cinta, bukan dengan ketakutan. Kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa ruang belajar—termasuk di surau dan madrasah—menjadi tempat yang aman dan bermartabat bagi sesama manusia. (*)

Pos terkait