Chromebook: Ironi Korupsi di Balik Kemajuan Digitalisasi Pendidikan

Chromebook: Ironi Korupsi di Balik Kemajuan Digitalisasi Pendidikan

*)Oleh: Dr. Sholikhul Huda, M. Fil.I
Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UMSurabaya &
Ketua Forum Dosen Surabaya (FORDES)

Di tengah gencarnya upaya pemerintah mendigitalisasi sistem pendidikan nasional, pengadaan perangkat seperti Chromebook di sekolah-sekolah negeri tampak seperti langkah maju. Pemerintah berharap perangkat ini dapat menunjang pembelajaran berbasis teknologi dan menjembatani kesenjangan digital di berbagai daerah.

Bacaan Lainnya

Namun realitasnya jauh dari harapan. Proyek ambisius ini justru mencerminkan ironi besar: kemajuan digital diboncengi oleh praktik korupsi dan penyimpangan anggaran. Kita menyaksikan betapa semangat “Merdeka Belajar” bisa dikotori oleh mentalitas rakus dan birokrasi yang tak akuntabel.

Digitalisasi yang Terkunci dalam Formalitas

Program pengadaan Chromebook yang dilakukan dalam jumlah besar sering kali tidak dibarengi dengan pemetaan kebutuhan yang akurat. Banyak sekolah menerima perangkat tanpa memastikan kesiapan infrastruktur dasar seperti listrik stabil, koneksi internet, atau pelatihan guru. Dalam beberapa kasus, Chromebook hanya jadi “kotak mahal” yang menumpuk di ruang kepala sekolah, tak pernah menyentuh tangan siswa.

Lebih buruk lagi, pengadaan ini terindikasi sarat permainan harga. Spesifikasi perangkat yang biasa dijual di pasaran dengan harga terjangkau, bisa melonjak dua kali lipat dalam dokumen pengadaan. Ketika markup seperti ini terjadi secara sistemik, jelas ada indikasi kuat terjadinya korupsi.

Anak Didik yang Jadi Korban

Korupsi dalam pengadaan teknologi pendidikan tidak hanya soal kerugian negara. Lebih dari itu, ini adalah pengkhianatan terhadap masa depan anak-anak Indonesia. Mereka seharusnya menerima pendidikan berkualitas dan akses teknologi yang memadai, bukan barang sisa dari proyek yang dikorupsi.

Guru pun tak luput dari imbasnya. Banyak dari mereka tidak dibekali pelatihan untuk mengintegrasikan Chromebook ke dalam pembelajaran. Akibatnya, perangkat digital hanya menambah beban administrasi tanpa kontribusi berarti bagi proses belajar.

Reformasi Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan

Situasi ini menegaskan perlunya reformasi total dalam tata kelola digitalisasi pendidikan. Pengadaan alat teknologi tidak boleh semata-mata menjadi proyek anggaran tahunan, tetapi harus berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Keterlibatan guru, kepala sekolah, dan bahkan siswa dalam perencanaan menjadi penting agar tidak terjadi pemborosan dan salah sasaran.

Lebih penting lagi, prosesnya harus transparan dan diawasi oleh lembaga independen. Audit menyeluruh, baik terhadap keuangan maupun efektivitas implementasi, harus dilakukan secara berkala. Teknologi seharusnya menjadi alat pemerdekaan intelektual—bukan alat memperkaya elite birokrat.

Penutup

Di atas kertas, program Chromebook adalah cermin kemajuan. Tapi jika pelaksanaannya korup dan tidak tepat sasaran, maka ia hanya akan menambah panjang daftar proyek digitalisasi yang gagal dan membebani APBN. Ironi ini menunjukkan bahwa tanpa integritas, teknologi hanyalah ilusi kemajuan.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Jangan biarkan ia dirusak oleh kepentingan jangka pendek yang mengorbankan masa depan generasi penerus bangsa.

Semoga tidak terulang kembali kasus serupa yang memalukan dan menghancurkan dunia suci pendidikan. (*)

Pos terkait