“Nabi” Jokowi: Kegilaan Baru Politik Indonesia Di Era Liberalisme Demokrasi

"Nabi" Jokowi: Kegilaan Baru Politik Indonesia Di Era Liberalisme Demokrasi

*)Oleh: Gus Sholikh Al Huda
Ketua Pusat Studi  Islam & Pancasila ( PuSIP)

Jagat politik Indonesia kembali gemuruh gara-gara Jokowi. Isu ijazah belum reda, sekarang muncul narasi politik di luar nalar akal sehat dan cenderung mengusik kesakralan agama. Betapa tidak, Jokowi disebut dianggap sudah memenuhi syarat jadi nabi oleh kader PSI Dedy Nur Palakka lewat cuitan di akun media sosial X dengan akun @Dedynurpalakka “jadi nabi pun sebenarnya beliau sudah memenuhi syarat, cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum selalu lebar ketika bertemu dengan rakyat”.

Bacaan Lainnya

Fenomena politik di negeri ini, kita menyaksikan transformasi politik dalam bentuk paling ganjil bahkan setengah edan di era liberalisme demokrasi. Dari presiden rakyat menjadi simbol setengah ilahi. Joko Widodo, yang dulunya dielu-elukan sebagai antitesis oligarki, kini menjelma menjadi figur “nabi politik”. Setiap langkah politiknya dipuja-puji seolah langkahnya disertai wahyu, turun dari langit Istana.

Jokowi bukan lagi sekadar kepala negara. Ia adalah pusat orbit kekuasaan baru yang tak lagi mengenal batas logika demokrasi. Dari Mahkamah Konstitusi yang tunduk pada logika dinasti, hingga partai-partai besar yang mendadak sujud di kaki kekuasaan, semua bergerak mengikuti satu kiblat Jokowi.

Apa yang terjadi hari ini bukan sekadar kultus individu. Ini adalah pembentukan doktrin politik baru: Jokowisme. Ia tak memiliki ideologi jelas, tapi memiliki efek narkotik yang kuat: membius akal sehat publik, mematikan nalar hukum, dan membungkam oposisi. Di tengah euforia “presiden kerja”, publik tak sadar sedang dirampok hak politiknya secara sistematis.

Wacana “keberlanjutan” kekuasaan bukanlah omong kosong pinggiran. Ini strategi terencana. Perpanjangan masa jabatan, cawe-cawe pilpres, bahkan intervensi dalam penentuan calon pemimpin masa depan semuanya dilakukan secara terang-terangan. Dan lebih gilanya lagi: semua itu dilegitimasi oleh publik yang rela ditipu, demi kenyamanan semu yang diciptakan pencitraan istana.

Kini anaknya, Gibran Rakabuming, duduk manis di kursi kekuasaan bukan karena prestasi, tapi karena keputusan Mahkamah Konstitusi yang penuh konflik kepentingan. Ini bukan kebetulan. Ini rencana. Ini dinasti yang dibangun dengan wajah merakyat tapi cengkeramannya oligarkis. Jokowi, sosok yang katanya lahir dari rahim rakyat biasa, justru sedang menjual kembali demokrasi kita ke meja para elite yang dulu ia lawan.

Politik kita sedang memasuki fase post-demokrasi. Pemilu tetap ada, parlemen tetap berdiri, tapi substansi demokrasi dikuliti habis. Yang tersisa hanya ilusi: kita seolah memilih, padahal yang tersedia hanya aktor-aktor yang disetujui “nabi besar” dari Solo.

Jokowi telah berhasil mengubah peta politik Indonesia. Tapi keberhasilan ini bukan kemenangan demokrasi, melainkan kemenangan ilusi atas nalar. Kita bukan sedang dipimpin, tapi sedang disulap. Dan seperti halnya pertunjukan sulap, penonton yang terlalu kagum seringkali lupa bahwa semua itu hanya trik.

Indonesia tak butuh nabi politik. Kita butuh pemimpin yang tahu batas dan berfikir maju. Karena ketika seorang manusia mulai disakralkan, maka kehancuran institusi tinggal menunggu giliran. Semoga tidak terjadi dan kita bangkit bangun dari siuman demokrasi menuju Indonesia emas. (*)

Pos terkait