Disinformasi Global: Ancaman Baru bagi Stabilitas Sosial dan Politik Domestik

Disinformasi Global: Ancaman Baru bagi Stabilitas Sosial dan Politik Domestik
Muthia Afifah Salsabila

Nama: Muthia Afifah Salsabila
Pendidikan: Mahasiswa Ilmu Pemerintahan,Universitas Muhammadiyah Malang

Di era digital yang serba cepat dan terbuka ini, arus informasi mengalir tanpa batas dan tanpa jeda. Namun, tidak semua informasi yang beredar adalah benar. Disinformasi atau penyebaran informasi yang salah dan menyesatkan telah menjadi tantangan global yang nyata dan berdampak langsung terhadap stabilitas sosial serta politik domestik suatu negara, termasuk Indonesia.

Bacaan Lainnya

Memahami Disinformasi di Era Globalisasi

Disinformasi berbeda dari misinformasi. Jika misinformasi adalah informasi keliru yang disebarkan tanpa kesengajaan, maka disinformasi disebarkan dengan niat untuk menipu, memprovokasi, atau memengaruhi opini publik secara sistematis. Aktor-aktor disinformasi bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka bisa individu, kelompok kepentingan, bahkan negara yang memiliki agenda tertentu.

Di tengah globalisasi dan konektivitas digital yang semakin masif, informasi dari satu belahan dunia bisa menyebar ke seluruh penjuru dalam hitungan detik. Sayangnya, disinformasi pun ikut menyebar dengan cara yang sama. Media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform digital lainnya menjadi alat utama penyebaran narasi yang tidak berdasar, namun dikemas seolah-olah benar.
Dampak Sosial yang Mengkhawatirkan

Salah satu dampak paling nyata dari disinformasi adalah terganggunya tatanan sosial. Disinformasi mampu memecah belah masyarakat, menumbuhkan rasa curiga antarwarga, dan bahkan menyulut konflik. Contoh paling nyata adalah ketika isu SARA dimanfaatkan untuk menyebar kebencian dan memperuncing perbedaan. Masyarakat yang awalnya hidup berdampingan dalam toleransi bisa terpecah karena narasi provokatif yang terus menerus disebarkan.

Fenomena ini diperparah oleh rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak individu yang cenderung percaya dan langsung menyebarkan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya. Akibatnya, hoaks menjadi viral, dan opini publik dibentuk berdasarkan kebohongan.

Mengguncang Politik Domestik

Selain dampak sosial, disinformasi juga memberikan pengaruh besar dalam arena politik. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan sering kali dikotori oleh kampanye hitam dan hoaks politik. Kandidat dijatuhkan dengan informasi palsu, dan masyarakat dibingungkan oleh narasi yang bertentangan satu sama lain. Ini membuat proses demokrasi menjadi tidak sehat.

Lebih jauh, disinformasi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika lembaga negara, aparat penegak hukum, atau bahkan kepala negara dijadikan sasaran serangan disinformasi, maka muncul krisis kepercayaan yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan. Ketidakpercayaan ini menjadi celah yang berbahaya, apalagi jika dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menggoyang keamanan nasional.

Peran Media Sosial dan Teknologi

Perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, mempercepat penyebaran disinformasi. Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai minat pengguna, namun ini menciptakan “filter bubble” dan “echo chamber” yang membuat pengguna hanya terpapar informasi yang memperkuat pendapatnya sendiri.

Lebih dari itu, teknologi kecerdasan buatan seperti deepfake mulai digunakan untuk menyebarkan konten palsu yang sangat meyakinkan. Video atau suara manipulatif dapat digunakan untuk menjatuhkan tokoh publik atau menciptakan kepanikan. Tantangan ini tidak bisa dianggap remeh karena menuntut kesiapan dari berbagai pihak, terutama dalam regulasi dan mitigasi.
Langkah Strategis yang Diperlukan

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah membentuk berbagai inisiatif untuk memerangi hoaks, seperti website cek fakta, patroli siber, dan edukasi publik. Namun, tantangan ini terlalu besar untuk ditangani pemerintah sendirian.

Peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sejak dini. Masyarakat harus dilatih untuk berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi provokatif. Media massa juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi sumber informasi yang akurat dan tidak ikut menyebarkan konten tanpa konfirmasi yang jelas.

Selain itu, platform digital seperti Facebook, X (Twitter), TikTok, dan WhatsApp perlu lebih tegas dalam menindak akun-akun penyebar hoaks. Kolaborasi lintas sektor, baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat sipil, harus terus diperkuat.

Kesimpulan

Disinformasi global merupakan ancaman serius yang tidak hanya merusak akal sehat, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan politik domestik. Dalam menghadapi era digital yang penuh tantangan ini, dibutuhkan kewaspadaan kolektif dan langkah konkret dari seluruh elemen bangsa. Hanya dengan literasi yang kuat, media yang bertanggung jawab, dan regulasi yang adaptif, kita dapat membangun ketahanan nasional dalam menghadapi gelombang informasi yang semakin kompleks. Masyarakat yang kritis adalah benteng terakhir melawan disinformasi dan benteng itu harus terus diperkuat.

Pos terkait