AS vs China: Perang Dingin Gaya Baru?

AS vs China: Perang Dingin Gaya Baru?
Hanum Shafira Maha Putri

Nama : Hanum Shafira Maha Putri
Pendidikan : Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang

 

Bacaan Lainnya

Dunia hari ini tengah menyaksikan babak baru dalam sejarah geopolitik global: persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang semakin tajam dan terbuka. Meskipun belum meletus menjadi konflik bersenjata, dinamika ini telah memengaruhi tatanan ekonomi, politik, dan keamanan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Banyak yang menyebut ini sebagai Perang Dingin Gaya Baru, versi modern dari persaingan ideologi dan kekuatan antara dua kutub dominan.

Di bidang teknologi, Amerika Serikat secara agresif membatasi akses Tiongkok terhadap chip canggih dan perangkat kecerdasan buatan (AI). Langkah ini dilakukan dengan dalih menjaga keamanan nasional, namun faktanya juga untuk menjaga dominasi teknologi AS di panggung global. Larangan ekspor chip dari perusahaan seperti Nvidia dan AMD ke Tiongkok telah menimbulkan kerugian besar, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya teknologi dalam kompetisi ini. AS khawatir bahwa kemajuan teknologi Tiongkok akan memperkuat militernya dan mempercepat dominasinya di kawasan Indo-Pasifik.

Sementara itu, Tiongkok menanggapi pembatasan ini dengan memperkuat produksi dalam negerinya dan mempercepat program “Made in China 2025” yang bertujuan untuk mencapai kemandirian teknologi. Namun, tantangan Tiongkok tidak kecil sampai tingkat kemandirian chip dalam negerinya pada 2023 masih sekitar 12%, jauh dari target 70% yang ingin mereka capai. Ini menunjukkan bahwa, meskipun Tiongkok adalah kekuatan besar, mereka tetap menghadapi tekanan signifikan dalam mengejar AS di sektor teknologi.

Ketegangan juga memanas di ranah militer. Laut China Selatan dan wilayah sekitar Taiwan menjadi titik panas yang terus dipantau dunia. Amerika Serikat rutin menggelar latihan militer dan operasi kebebasan navigasi (FONOP) di wilayah ini, sebagai pesan bahwa mereka masih punya pengaruh kuat. Di sisi lain, Tiongkok meningkatkan patroli militernya dan membangun infrastruktur militer di wilayah yang disengketakan. Ketegangan ini tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara Asia Tenggara yang berada di garis depan konflik potensial.

Di ranah diplomatik dan ekonomi, persaingan antara AS dan Tiongkok juga terasa kuat. Tiongkok memanfaatkan inisiatif Belt and Road untuk memperluas pengaruh ekonominya dengan memberikan investasi besar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara itu, AS menggagas kerangka seperti Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) untuk membendung dominasi ekonomi Tiongkok dan mempererat kerja sama dengan negara-negara kawasan. Negara-negara seperti Indonesia berada dalam posisi dilematis: menerima manfaat dari kedua belah pihak, tetapi juga berisiko terseret dalam konflik yang lebih besar.

Indonesia harus memainkan peran strategis di tengah pertarungan dua raksasa ini. Kita tidak boleh menjadi pion dalam permainan geopolitik global. Sebaliknya, kita harus tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif, serta memastikan bahwa kerja sama ekonomi dan militer dengan kedua negara tidak mengorbankan kedaulatan nasional, kepentingan rakyat, atau kelestarian lingkungan.

Perang Dingin dulu berakhir tanpa perang terbuka, tetapi meninggalkan banyak luka sejarah. Kini, Perang Dingin Gaya Baru ini harus dikelola dengan kebijaksanaan global. Dunia tidak butuh dua raksasa yang saling menjatuhkan, tetapi dua kekuatan besar yang bisa memimpin dunia menuju masa depan yang lebih adil dan stabil. Dan Indonesia, dengan posisi strategisnya, punya peluang besar untuk menjadi jembatan—bukan hanya penonton.

Pos terkait