Perang Dagang Dunia, Imbasnya Sampai ke Dompet Kita

Perang Dagang Dunia, Imbasnya Sampai ke Dompet Kita
Imelda

Nama : Imelda
Pendidikan : Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang

Isu ekonomi memang sering kali terdengar rumit, penuh angka dan istilah asing, tapi dampaknya sangat nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Naiknya harga kebutuhan pokok, mahalnya barang elektronik, hingga melemahnya nilai tukar rupiah semuanya bisa jadi akibat dari gejolak yang terjadi di luar negeri. Salah satu isu global yang belakangan kembali menguat adalah perang dagang antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Tiongkok. Meski terdengar jauh dan seakan tidak berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia, nyatanya pertarungan ekonomi dua kekuatan besar ini bisa memberi efek domino yang sampai ke dapur rumah kita.

Perang dagang sendiri adalah situasi di mana dua negara saling mengenakan tarif atau bea masuk yang tinggi terhadap produk satu sama lain. Tujuannya untuk melindungi industri dalam negeri dan menekan negara lawan secara ekonomi. Namun, dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, langkah ini justru bisa memicu kekacauan yang meluas. Baru-baru ini, pemerintahan Amerika Serikat kembali menaikkan tarif terhadap berbagai produk asal Tiongkok seperti kendaraan listrik, baterai, hingga chip teknologi. Tiongkok pun tidak tinggal diam. Negeri Tirai Bambu ini segera membalas dengan kebijakan serupa. Ini bukan perang fisik, tapi tarik-ulur kepentingan ekonomi yang dampaknya bisa sangat luas.

Bagi Indonesia, situasi ini tentu punya implikasi besar. Sebagai negara berkembang yang sangat terhubung dalam rantai pasok global, kita tidak bisa berpura-pura bahwa ini bukan urusan kita. Justru, dampaknya bisa sangat langsung dan terasa. Pertama, harga barang impor bisa naik. Banyak produk yang kita konsumsi sehari-hari seperti ponsel, laptop, peralatan rumah tangga, hingga suku cadang industri berasal dari Tiongkok atau diproduksi menggunakan bahan dari sana. Ketika tarif naik dan produksi terganggu, biaya pun meningkat. Hasilnya, harga barang-barang tersebut juga ikut naik ketika sampai di pasar Indonesia.

Kedua, ekspor Indonesia bisa ikut tertekan. Kita banyak mengekspor bahan mentah dan barang setengah jadi ke Tiongkok, terutama dalam sektor pertambangan, kelapa sawit, dan produk hasil laut. Bila industri di Tiongkok melambat karena tekanan dari AS, permintaan terhadap barang-barang dari Indonesia bisa berkurang. Ini jelas berdampak pada pendapatan negara, pelaku usaha, dan tentu saja, para pekerja yang menggantungkan hidup pada sektor ekspor.

Ketiga, yang juga krusial, adalah soal nilai tukar rupiah. Ketika perang dagang menciptakan ketidakpastian, para investor global cenderung mencari tempat yang dianggap lebih aman seperti dolar AS. Mereka menarik dananya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, rupiah bisa melemah. Jika ini terjadi, harga barang-barang impor menjadi lebih mahal, inflasi bisa meningkat, dan daya beli masyarakat akan terganggu, terutama bagi mereka yang penghasilannya tidak ikut naik.

Menghadapi situasi seperti ini, pemerintah Indonesia tentu tidak boleh tinggal diam. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan. Pertama, diversifikasi pasar ekspor. Jangan hanya mengandalkan AS dan Tiongkok sebagai tujuan ekspor utama. Pasar-pasar baru seperti di Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah harus mulai digarap secara serius. Kedua, memperkuat industri dalam negeri. Ketergantungan kita terhadap produk luar harus dikurangi. Salah satu caranya adalah dengan mempercepat proses hilirisasi, sehingga kita bisa mengekspor produk jadi, bukan hanya bahan mentah. Ketiga, menjaga stabilitas ekonomi makro. Bank Indonesia bersama pemerintah perlu terus memantau pergerakan nilai tukar dan memastikan inflasi tetap terkendali.

Terakhir, UMKM juga harus mendapat perhatian khusus. Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional dan perlu didukung agar tetap bertahan di tengah kondisi global yang tidak menentu.
Perang dagang antara AS dan Tiongkok mungkin terlihat seperti perseteruan dua negara besar saja, tapi dampaknya bisa begitu luas hingga menyentuh kehidupan masyarakat kecil. Ini bukan semata-mata soal tarif atau neraca perdagangan, tapi soal stabilitas ekonomi kita bersama. Indonesia harus bersikap cerdas dan cepat tanggap. Kita memang tidak terlibat langsung dalam konflik itu, tapi kita bisa mengambil langkah agar tidak menjadi korban dari tarik ulur kepentingan global. Saat dua raksasa bertarung, kita tidak harus diam. Justru ini saatnya Indonesia memperkuat fondasi ekonominya dan menunjukkan bahwa kita bukan sekadar penonton, tetapi pemain penting dalam ekonomi dunia.

Pos terkait