Al Araf menekankan, banyaknya seorang penulis buku tentang penculikan, menggunakan narasi pelaku.
“Wiranto menulis dari perpektif dia, Fadli Zon membela Prabowo dalam perspektif dia. Tapi tidak ada yang menulis dalam perpektif korban. Oleh karena itu, buku ini ditulis melengkapi perspektif korban secara umum sebelumnya,” bebernya.
Sebelumnya, Al Araf mencoba mewawancarai dan mendokumentasikan korban-korban hilang dan diculik. Ia ingin menunjukkan kepada publik, bagaimana peristiwa penculikan tersebut.
Baca juga: Disperpusip Batu Siapkan Buku Bacaan Ceria bagi Korban Terdampak Bencana
“Sehingga harapannya selesai diskusi ini, orang menunjukkan fakta dari korban secara langsung. Tapi kalau cerita korban masih dibantah, menurut saya edan yang membantah,” ujar Al.
Kegiatan tersebut dinilai Al Araf menarik, mengingat peristiwa penculikan tahun 1997 dan 1998 tidak bisa dilupakan. Karena merupakan titik pergerakan reformasi tahun 1998.
Baca juga: Motivasi Minat Literasi, Pj Wali Kota Malang Apresiasi Buku Perempuan Inspiratif
“Walaupun saya memahami dinamika mahasiswa tahun 1995 melakukan penolakan pada rezim Soeharto di era 1990, 1995, 1997 dan memuncak pada 1998. Kelompok mahasiswa ini menolak dengan beberapa alasan,” kata Al.
Alasan utama Al Araf menulis buku ini, untuk melawan rezim yang otoritarianisme, rezim penuh kekerasan, rezim anti Hak Asasi Manusia (HAM) dan rezim korup pada era tersebut.
Baca juga: PPDS UB Gelar Sosialisasi Deteksi Dini Penyakit Jantung dan Launching Buku
“Yang menarik adalah pergerakan mahasiswa pada era tersebut tidak bergerak pada ruang yang bebas, tapi dalam ruang intimidasi kekerasan. Di era rezim yang represif, ada anak-anak muda yang kritis melawan Soeharto, ini patut saya acungi jempol,” terang Al.
Ditengah semua diam dan takut, Al menilai anak-anak muda era tersebut berani melawan. Dan konstruksi tersebut tidak dapat dan tidak boleh dilupakan. Karena, merupakan hutang sejarah dalam perjuangan reformasi perubahan.
Baca juga: Cegah Golput Perantau, Mahasiswa UB Membuat Buku Saku Digital
Terakhir, Al merasa tersentuh, dimana perlawanan pada batas tertentu terdapat keluarga sebagai pertimbangan. Ia terus terang ketika membaca part pernyataan Pak Utomo sebagai orangtua mahasiswa Bima Petrus yang ditulis dalam buku tersebut.
“Saat beliau memberikan izin pada Bima Petrus untuk berangkat ke Jakarta dalam konteks perlawanan. Buat saya ini harus diapresiasi, meskipun dalam satu titik Bima Petrus akhirnya hilang. Tapi, sulit bagi saya membayangkan Pak Utomo dan keluarga korban lainnya pada era tersebut memberikan restu pada anaknya,” tandas Al. (ws9/rhd)