Indonesia kalah dari Thailand, 0-3. Menyakitkan karena kekalahan telak ini tidak diduga, apalagi pertandingan berlangsung di kandang sendiri, stadion kebanggaan Indonesia, Gelora Bung Karno. Publik sepak bola Indonesia memang senang berimajinasi dalam balutan kalimat "harus tetap optimis".
Kekalahan dari Malaysia 2-3 hanya dianggap sebagai ketidakberuntungan semata oleh beberapa pihak. Mungkin karena sempat melayang hingga lupa diri karena semapt unggul 2-1, sebelum dibalikan Malaysia.
Harus diakui, Indonesia di bawah McMenemy nampak seperti mendahulukan hasil daripada proses, bola lebih sulit dialirkan karena para pemain terlihat bingung dengan skema yang diajarkan oleh McMenemy. Sayang Luis MIlla harus pergi dengan isu keterlambatan gaji yang dibayarkan.
Di lain pihak, Thailand sudah melambung tinggi dan serius mempersiapkan timnasnya. Penggantian pelatih ke Akira Nishino dapat menjadi salah satu langkah pasti dari Thailand yang serius ingin ke Piala Dunia 2022. Akira Nishino adalah pelatih Jepang di Piala Dunia 2018, bahkan berhasil membawa Jepang ke babak knockuout sebelum akhirnya disingkirkan Belgia dalam pertanginan yang tak kalah seru.
Oleh karena itu, Indonesia harus berbenah, harus ada koreksi tentang persiapan menuju pertandingan-pertandingan berikutnya. Jika pelatih harus diganti, ganti saja, sebelum terlambat. Jika tak berani, benar sudah asumsi bahwa Indonesia memang tak serius untuk bermain di Piala Dunia.
Sebenarnya masih ada toleransi bagi McMenemy jika pertandingan terlihat menghibur, namun alih-alih menghibur, permainan direct passing McMenemy nampak tidak berjalan sempurna. Publik menjadi rindu dengan tiki-taka ala Luis Milla yang berjalan baik sebeumnya meski juga jarang meraih kemenangan. Sebaliknya McMenemy belum terlihat jelas ingin membangun karakter pemainan seperti apa?. (*)