Malang, SERU.co.id – Universitas Brawijaya (UB) kembali mengukuhkan dua profesor baru, di Gedung Widyaloka UB Malang, Rabu (25/11/2020). Kedua profesor merupakan Profesor aktif ke-189 dan 190 di UB, serta ke-269 dan 270 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh UB.
Pertama, Prof DrEng Didik Rahadi Santoso, MSi, sebagai Profesor aktif ke-23 dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Profesor aktif ke-189 di UB, dan ke-269 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh UB. Berikutnya, Prof Dr Moh Fadli, SH, MHum sebagai Profesor aktif ke-5 dari Fakultas Hukum (FH), Profesor aktif ke-190 dari UB, serta Profesor ke-270 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan UB.

Dalam pidato pengukuhannya, Prof DrEng Didik Rahadi Santoso, MSi, mengusung tajuk “Peluang dan Tantangan Pengembangan Sistem Instrumentasi di Era Industri-4.0”. Menurutnya, Instrumentasi sebagai disiplin ilmu cabang dari ilmu fisika (applied physics), yang membahas metode dan sistem peralatan terkait dengan pengukuran atau pengendalian suatu besaran fisis.
“Instrumentasi merupakan bidang kajian multi-disiplin yang memerlukan pengetahuan komprehensif, meliputi aspek dasar sains khususnya fisika, serta bidang ilmu lain yang terkait dengan terapannya. Saat ini teknologi instrumentasi berkembang sangat pesat, baik dalam desain produk maupun terapannya,” ungkap Prof Didik Rahadi, yang dikukuhkan sebagai Profesor dalam bidang Sistem Instrumentasi pada FMIPA-UB.

Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari kemajuan iptek secara menyeluruh, khususnya di bidang komponen elektronika serta teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Implementasi sistem ICT modern (misalnya: IoT, cloud computing) pada produk sistem instrumentasi mampu bekerja secara cepat, terdistribusi dan terintegrasi, meskipun letaknya berjauhan.
“Contohnya Bioelectical Impedance Spectrometer (BIS), yakni sebuah sistem instrumentasi untuk keperluan riset di bidang biofisika, dan yang kedua adalah sistem instrumentasi untuk monitoring aktivitas gunung berapi secara realtime dari jarak jauh,” beber alumni S3 di Hiroshima University, Jepang.
Usaha pengembangan sistem instrumentasi EIS/BIS dan sistem pemantauan gunungapi yang telah dilakukan, dapat membantu dosen dan mahasiswa, khususnya di Jurusan Fisika UB melaksanakan pendidikan dan penelitiannya dengan lebih baik.

“Seperti seismograf, langsung dikirimkan ke pos pantau melalui internet karena lebih murah. Idealnya dibutuhkan 4 sensor, karena harganya milyaran hanya digunakan 1 unit sensor. Monitoring pada gunung berapi melalui Geofisika dan mitigasi sebagai antisipasi. Instrumen saat ini tentunya lebih valid dan konsisten,” tandas pria kelahiran Jombang, 10 Juni 1969.
Sementara itu dalam pidato pengukuhannya, Dr Moh Fadli, SH, MHum, mengusung “Peraturan Delegasi Di Indonesia: Ide Untuk Membangun Kontrol Preventif Terhadap Peraturan Pemerintah.” Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) disebut secara eksplisit, dijustifikasi dan diposisikan dengan fungsi untuk menjalankan undang-undang (UU) sebagaimana mestinya dalam Pasal 5 ayat (2) konstitusi negara kita.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
“Persoalan terbaru, sekitar 40 PP dan 3 Perpes dibuat hanya dalam waktu 100 hari. Padahal normalnya 1 PP itu 3 bulan hingga 1 tahun. Padahal PP berisi delegasi dari UU untuk menangani urusan publik,” ungkap Dr Moh Fadli, SH, MHum, yang dikukuhkan sebagai Profesor dalam Bidang Ilmu Hukum pada FH UB.
Di sisi lain, era saat ini menuntut pelayanan publik dilakukan cepat, efektif, dan efisien tanpa melanggar hukum. Solusinya, peraturan delegasi harus diimbangi dengan beragam kontrol, di antaranya kontrol parlemen, kontrol yudisial dan kontrol jenis lainnya.
Sayangnya kontrol terhadap PP, masih sebatas kontrol represif melalui pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU ke Mahkamah Agung (MA). Kontrol represif rawan dan tidak cukup untuk menjamin agar PP tidak eksesif, ultra vires, atau inkonsistensi dengan UU induk.
“Kontrol represif masih belum cukup, dan harus dilengkapi dengan kontrol preventif, dimulai waktu pembentukan UU induk dan penyusunan PP. Sekaligus penilaian atau persetujuan dari DPR sebelum PP ditetapkan atau diundangkan oleh Pemerintah,” tandas pria kelahiran Bondowoso, 1 April 1965 ini. (rhd)