Kota Malang, SERU
Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang, Prof Tobroni dan Deputy Head of Department of Malay Studies (DMS), National University of Singapore (NUS), Prof Azhar Ibrahim Alwee menandatangani nota kesepahaman (Letter of Commitment of Action and Collaboration/LCAC) di bidang akademik, intelektualisme dan aktivisme mahasiswa.
Hal-hal krusial yang dibahas di dalam nota kesepahaman (LCAC) ini, terkait dengan kolaborasi di bidang pertukaran dosen dan mahasiswa, kolaborasi riset, review kurikulum, reviewer jurnal internasional, serta pemberian beasiswa PhD. Banyak klausul yang disetujui keduabelah pihak, sebenarnya memberikan kesempatan dan manfaat yang lebih banyak bagi UMM.
Peristiwa penting ini dihelat pada Senin 23 September 2019, bertepatan dengan agenda International Seminar and Sharing Session on Academic Culture and Student Activism in Malay-Indonesian Universities, yang diselenggarakan atas kerjasama antara Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) UMM dan DMS NUS.
Di samping Prof Tobroni dan Prof Azhar, hadir sebagai narasumber adalah Dr Pradana Boy ZTF (Dosen senior HKI, yang sekarang menjabat Asisten Staf Khusus Presiden bidang Keagamaan Internasional) dan Dr (Cand.) Idaul Hasanah (Ketua Prodi HKI).
Dalam kesempatan yang diselenggarakan di Seminar Room GKB 4 Lantai 4 tersebut, Prof Azhar menjelaskan, hanya dengan perjuangan intelektual yang sungguh-sungguh dan pencerahan moral yang kuat, ancaman-ancaman dan masalah-masalah yang masyarakat hadapi dapat diatasi. “Berarti, dengan demikian, kampus tidak hanya membahas perkara akademik, tetapi juga intelektualisme dan aktivisme yang solutif bagi masalah sosial kemanusiaan. Dalam konteks ini, mahasiswa juga harus terlibat aktif di dalamnya,” kata Azhar.
Secara lebih jauh, Azhar menegaskan, gerakan intelektual-akademik memerlukan kepemimpinan yang kuat. Dengan kepemimpinan yang kuat, maka aktivisme bisa bergerak dengan baik, signifikan dan bermanfaat. “Oleh karena itu, waktu luang yang kita miliki tidak boleh hanya dihabiskan untuk perkara akademik saja, namun juga non-akademik,” ungkapnya.
Sementara itu menurut Pradana, dunia aktivisme yang berjalan secara massif, harus mempertimbangkan pentingnya kesadaran kritis. Dengan kesadaran kritis, kita akan mampu berhadapan dengan penyebaran hoax dan semangat keagamaan yang berlebihan (takfir atau pengafiran). Terlebih bahwa, kita hidup di era perkembangan teknologi informasi yang maju dan trend pasca kebenaran (post-truth).
Di sisi lain, Dr (Cand.) Idaul mendorong para mahasiswa untuk mengasah kualitas intelektual dan aktivisme yang dimiliki. “Jika kita menguasai dua medan ini, maka kita memiliki kesempatan yang lebih besar dalam rangka berkonstribusi pada pembangunan bangsa dan negara. Bahkan, juga pembangunan peradaban kemanusiaan,” tuturnya.
Bagian pamungkas pada program kolaboratif tersebut, banyak mahasiswa cum aktivis UMM yang berminat menyelesaikan tugas akhirnya di NUS dan dibimbing oleh para pakar di bidang-bidang ilmu sosial dan humaniora. Di samping itu, para dosen muda juga berminat untuk melanjutkan studi doktoralnya di kampus yang menduduki ranking 12 dunia ini (NUS). Kedua program ini didukung penuh oleh NUS. (rhd)
### #
Pendidikan. Inovasi