Cacat Logika

Rencana disahkannya RUU KUHP ini kandas, lantaran pihak pemerintah hanya menunda pengesahan. Biar bagaimanapun dalam pengesahan sebuah Undang-Undang harus ada persetujuan kedua belah pihak, baik Pemerintah dan DPR.

Respons penolakan terhadap rencana DPR untuk mengesahkan RUU KUHP yang syarat kontroversial ini juga datang dari masyarakat luas, hingga gelombang demonstrasi para Mahasiswa di beberapa kota di Indonesia yang sampai hari ini masih berlanjut.

Salah satu pertimbangan untuk segera disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah untuk mewujudkan hukum pidana nasional NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar NKRI tahun 1945, serta asas hukum yang diakui masyarakat beradap. Untuk itu, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Demikian bunyi konsideran RUU KUHP  dalam bagian 'Menimbang' yang selalu menjadi kalimat pembuka konsideran sebuah Peraturaan Perundang-Undangan. Nomor RUU yang awalnya akan diketuk palu untuk disahkan pada hari ini Selasa(24/9) yang masih dikosongkan.

Di dalam RUU KUHP, pasal-pasal yang dianggap kontroversial seperti tindakan pidana bagi pelaku perzinaan atau kumpul kebo. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagaian besar masyarakat: Negara sudah terlalu Over dan kurang kerjaan mengurusi wilayah privat rakyatnya.

Saya juga berpikir, bahwa seyogianya didalam kultus masyarakat Indonesia yang majemuk ini masing-masing punya pandangan hidup dan keajekan sosial yang  tumbuh ditengah masyarakat sebagai self control . Jadi Negara tidak perlu genit dan kebablasan dalam hal ini.

Sepakat bila pengesahan RUU KUHP ini ditunda dan bila perlu dibatalkan saja. Momentum ini harusnya dimanfaatkan oleh Pemerintah bersama DPR untuk berkaca diri sembari mengkoreksi pasal-pasal yang controversial dan bermasalah tersebut.

Lebih lanjut, ada beberapa pasal yang menuai pro dan kontra dalam RUU KUHP, sebut saja pasal 432. Yang mana disebutkan Wanita pekerja yang pulang malam dan terlunta-lunta di jalanan dan dianggap gelandangan dikenai denda 1 juta.

Gelandangan yang nota bene kaum yang terjamarginalkan secara ekonomi, malah dikenai denda. Sebenarnya Negara harus merangkul dan memberi mereka santunan agar taraf hidup mereka membaik.

Ada juga Pasal seperti Pasal 432 RUU KUHP, pengamen yang mengganggu ketertiban umum bisa dikenai denda 1 juta. Hukuman tersebut juga berlaku untuk gelandangan, tukang parker yang dianggap gelandangan serta disabilitas mental yang terlantar dan disebut gelandangan.

 Jurnalis dan warganet yang menyampaikan kritik kepada Presiden terancam pidana 3,5 tahun. Pasal ini tidak jelas , karena tidak dijelaskan secara spesifik 'Kritik' yang dimaksudkan. Jangan-jangan kritik yang membangunpun tidak diperbolehkan!
Yang tak kalah ngawurnya lagi ialah, Pasal 2 jo Pasal RUU KUHP , bagi orang yang melanggar hukum kewajiban adat dimasyarakat bisa dipidana. Fungsinya sudah melampaui hukum adat yang sudah menjadi kultus sejak lama di masyarakat.

Dan, paling cacat ialah Pasal 604 RUU KUHP, Koruptor terancam pidana 2 tahun dan denda paling banyak kategori 4. Tentunya dengan hukuman yang terkesan ringan ini nantinya akan membuat koruptor tersenyum lebar dan semakin berani menjarah harta Negara. Tidak menutup kemungkinan, persoalan korupsi akan semakin menjalar dan menggurita kedepannya.

Karena itulah saya berharap RUU KUHP ini dibatalkan saja, pun Pasal-Pasal kontroversial yang syarat omong kosong didalamnya. Jangan mengeksploitasi emosi masyarakat untuk tambah muak terhadap pemerintah dan DPR. Masih banyak persoalan bangsa yang lebih penting, dari pada sekedar mengurusi ranah privasi rakyat. (*) 

Berita Terkait

Iklan Cukai Pemkab Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *