Jakarta, SERU.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka kasus dugaan korupsi pencairan kredit fiktif di BPR Jepara Artha. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp254 miliar. Ironisnya, sebagian dana hasil korupsi itu digunakan untuk membiayai perjalanan umrah.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan, keempat pejabat BPR Jepara Artha menerima aliran dana miliaran rupiah dari praktik kredit fiktif. Jhendik diduga mengantongi Rp2,6 miliar, Iwan Rp793 juta, Nasir Rp637 juta, dan Ariyanto Rp282 juta.
“Uang umrah untuk JH, IN dan AN sebesar Rp300 juta,” seru Asep, dikutip dari Kompascom, (19/9/2025).
KPK sudah menetapkan lima tersangka, yakni:
- Direktur Utama BPR Jepara Artha Jhendik Handoko
- Direktur Bisnis dan Operasional Iwan Nursusetyo
- Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan Ahmad Nasir
- Kepala Bagian Kredit Ariyanto Sulistiyono
- Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang (BMG) Mohammad Ibrahim Al’Asyari.
Lebih lanjut, Asep mengatakan, dana tersebut diberikan oleh Mohammad Ibrahim. Pihak swasta yang bekerja sama dengan Jhendik untuk mencairkan kredit fiktif.
“Dari hasil penyidikan, KPK menemukan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya mencapai Rp254 miliar dari baki debet dan tunggakan bunga,” jelas Asep.
KPK mengungkap, kasus ini berawal dari kredit macet yang membuat kinerja BPR Jepara Artha merosot. Demi menutupi kerugian, Jhendik dan Ibrahim lantas menyusun skema pencairan kredit fiktif. Dalam periode April 2022 hingga Juli 2023, terdapat 40 kredit fiktif dengan nilai mencapai Rp263,6 miliar.
Sebagian dana hasil kredit ilegal itu digunakan untuk memperbaiki performa keuangan BPR. Sementara sebagian lainnya justru dipakai untuk kepentingan pribadi, termasuk biaya ibadah umrah. Kini, kelima tersangka ditahan untuk 20 hari pertama hingga 7 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK.
Sebagai informasi, BPR Jepara Artha merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kabupaten Jepara. Perusahaan ini sebelumnya telah menerima penyertaan modal dari Pemkab sebesar Rp24 miliar. Hingga 2024 mampu menyetor dividen kumulatif Rp46 miliar.
Namun, sejak 2021, manajemen mulai mengubah strategi bisnis dengan memperluas kredit usaha melalui sistem sindikasi. Belakangan justru berujung pada skandal besar ini. (aan/mzm)