Transparansi Pemilu Dikunci: Kritik atas Kebijakan KPU

Transparansi Pemilu Dikunci: Kritik atas Kebijakan KPU
Gedung KPU RI Jakarta. (ist)

Oleh: Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Ketua Umum Forum Dosen Indonesia (ForDESI) &  & Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana UM Surabaya

Komisi Pemilihan Umum (KPU) belakangan mendapat sorotan publik karena kebijakan yang melarang publikasi dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden. Kebijakan ini mencakup dokumen penting seperti ijazah, laporan harta kekayaan (LHKPN), hingga riwayat hidup kandidat. Alasan yang kerap dikemukakan KPU adalah perlindungan privasi dan mencegah penyalahgunaan data pribadi. Namun, jika ditinjau dari perspektif demokrasi dan keterbukaan informasi, kebijakan ini lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaat.

Bacaan Lainnya

Demokrasi dan Hak atas Informasi

Dalam teori demokrasi deliberatif, transparansi informasi merupakan prasyarat agar publik bisa berpartisipasi secara rasional. Habermas menekankan pentingnya ruang publik di mana warga negara dapat mengakses informasi, mendiskusikannya, lalu membentuk opini yang beralasan. Larangan publikasi dokumen capres-cawapres justru menutup salah satu pintu penting menuju ruang publik tersebut.

Masyarakat tidak lagi memiliki kesempatan untuk menilai secara mandiri keabsahan ijazah, kejujuran laporan kekayaan, atau integritas kandidat. Akibatnya, kontrol publik dialihkan sepenuhnya kepada lembaga penyelenggara pemilu. Model seperti ini lebih menyerupai demokrasi elitis, di mana rakyat hanya diberi hasil keputusan tanpa ruang pengawasan yang memadai.

Keterbukaan Informasi Publik

UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara jelas menyebutkan bahwa dokumen pejabat publik dan calon pejabat publik pada prinsipnya adalah informasi terbuka, kecuali data pribadi yang sangat sensitif seperti alamat, nomor induk kependudukan, atau catatan medis. Dengan demikian, publikasi ijazah atau laporan kekayaan seharusnya tidak menjadi masalah, asalkan informasi yang rawan penyalahgunaan disensor.

Kebijakan KPU justru bertentangan dengan semangat keterbukaan yang dijamin undang-undang. Alih-alih melindungi privasi, larangan total atas publikasi dokumen berpotensi dianggap sebagai langkah membatasi hak publik atas informasi.

Akuntabilitas dan Trust Publik

Dalam kerangka teori good governance, akuntabilitas adalah prinsip utama penyelenggaraan negara. Akuntabilitas menuntut pejabat publik dan calon pejabat publik membuka diri terhadap pengawasan masyarakat. Dengan menutup dokumen capres-cawapres, KPU mengurangi kesempatan bagi publik untuk menguji integritas kandidat.

Dampaknya bisa berbalik: alih-alih melindungi kandidat, kebijakan ini justru menimbulkan kecurigaan publik. Isu seperti ijazah palsu atau ketidakjelasan asal-usul kekayaan akan lebih mudah berkembang karena tidak ada dokumen resmi yang dapat diakses dan diverifikasi secara langsung. Dengan kata lain, kebijakan KPU berpotensi memperlemah trust terhadap proses pemilu itu sendiri.

Politik Persepsi dan Legitimasi

Pemilu bukan hanya soal prosedur teknis, tetapi juga legitimasi politik. Legitimasi lahir dari kepercayaan publik terhadap integritas proses. Jika dokumen kandidat ditutup rapat, publik berhak curiga: apakah ada dokumen bermasalah yang sengaja disembunyikan? Dalam politik persepsi, kecurigaan seperti ini bisa jauh lebih berbahaya ketimbang fakta yang sebenarnya.

KPU seharusnya belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, ketika publikasi dokumen menjadi sarana kontrol sosial. Kasus dugaan pemalsuan ijazah, misalnya, bisa segera diuji karena dokumen tersedia secara terbuka. Dengan menutup akses, KPU justru memberi ruang lebih besar bagi spekulasi tanpa dasar.

Alternatif: Transparansi Selektif

Solusi yang lebih seimbang adalah transparansi terbatas atau selektif. KPU bisa membuka dokumen-dokumen penting, namun menyensor informasi yang benar-benar bersifat pribadi, seperti alamat rumah, tanda tangan, atau nomor identitas. Publik tetap mendapat akses pada informasi substantif mengenai pendidikan, kekayaan, dan rekam jejak kandidat, sementara risiko penyalahgunaan data tetap bisa diminimalisir.

Selain itu, KPU dapat menyediakan portal resmi daring yang menampilkan dokumen secara terverifikasi. Hal ini mencegah peredaran dokumen palsu sekaligus memastikan masyarakat memiliki sumber informasi yang sahih. Dengan demikian, prinsip privasi dan transparansi bisa berjalan berdampingan.

Kebijakan KPU melarang publikasi dokumen capres-cawapres adalah langkah yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, keterbukaan informasi, dan akuntabilitas publik. Dengan dalih melindungi privasi, kebijakan ini justru berpotensi merusak legitimasi pemilu, memperlemah kontrol sosial, dan menimbulkan kecurigaan publik. Jalan keluar terbaik bukanlah menutup akses, melainkan mengatur bentuk keterbukaan yang proporsional: melindungi data pribadi sensitif, tetapi tetap membuka informasi substantif yang berkaitan langsung dengan integritas calon pemimpin bangsa. (*)

 

disclaimer

Pos terkait