*)Oleh: Gus Dr. Sholikh Al Huda, M. Fil. I
Ketua Pusat Forum Dosen Indonesia (FoRDESI)
Selama ini, rakyat memang sering diam. Mereka kerja, bayar pajak, ikut aturan, dan—meski sambil ngedumel—tetap berusaha patuh. Tapi jangan salah. Diamnya rakyat itu bukan tanda lemah, apalagi bodoh. Mereka sabar. Tapi kayak kata orang tua: “Kesabaran itu ada batasnya.” Nah, begitu rakyat bangun dari tidurnya, bersatu, dan mulai bersuara, penguasa tinggal nunggu giliran buat digulung.
Contohnya segar banget, langsung dari Pati, Jawa Tengah. Belum lama dilantik, Bupati baru, Pak Sudewo, bikin manuver tajam: naikin Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai 250 persen. Alasannya? Tarif lama belum pernah disesuaikan selama 14 tahun. Oke, masuk akal. Tapi, 250 persen, Pak? Itu bukan penyesuaian, itu kaya nambahin cabai di bakso lima kali lipat terus minta dibilang “biar makin sedap”.
Lebih lucu lagi, ketika warga mulai protes dan ngeluh—karena yang biasanya bayar pajak seratus ribu, tiba-tiba disuruh bayar sejuta lebih—Pak Bupati malah nantang: “Kalau nggak terima, demo aja. Bawa 50 ribu orang sekalian.” Lah. Ini pemimpin atau influencer yang lagi cari engagement?
Dan benar saja, rakyat tidak tinggal diam. Media sosial ramai. Pasar-pasar ribut. Warga mulai turun ke jalan. Gubernur sampai harus turun tangan. Akhir cerita? Kebijakan dibatalkan. PBB kembali ke tarif lama. Refund dijanjikan. Aksi demo besar akhirnya urung.
Kita nggak sedang bicara soal pajak semata. Kita sedang ngomongin soal kesadaran kolektif rakyat, yang makin matang. Soal keberanian buat bilang: “Cukup sudah, kami bukan sapi perah.” Kalau dulu rakyat gampang dibujuk dengan janji-janji manis saat kampanye, sekarang nggak segampang itu. Mereka makin paham haknya, makin sadar kekuatannya.
Yang menarik dari kasus Pati bukan cuma soal angka, tapi soal sikap. Saat seorang pemimpin lebih memilih menunjukkan otot daripada membuka telinga, saat kebijakan dibuat dari balik meja tanpa melihat dapur warga, itulah benih kejatuhan. Demokrasi tanpa partisipasi rakyat hanyalah nama keren dari kediktatoran berjubah sah.
Arogansi kekuasaan selalu lahir dari ilusi: merasa tak tersentuh, tak bisa dikoreksi, apalagi dikritik. Tapi sejarah berkali-kali kasih pelajaran: kekuasaan yang abai pada suara rakyat, cepat atau lambat akan runtuh. Bisa jadi pelan, bisa juga mendadak. Tapi pasti.
Kalau rakyat Pati bisa bersatu melawan kebijakan yang dianggap semena-mena, daerah lain bisa juga. Satu per satu. Dan kalau suara-suara kecil itu mulai terkoordinasi, jangan salahkan siapa-siapa kalau nanti penguasa yang lupa diri digulung gelombang yang ia remehkan.
Akhirnya, tulisan ini bukan ajakan buat melawan pemimpin. Tapi ajakan buat terus mengingatkan mereka: bahwa kekuasaan itu bukan buat menyuruh-nyuruh rakyat seenaknya. Itu amanah, dan rakyat punya hak buat mempertanyakannya.
Karena kalau rakyat sudah bangun, sadar, dan berani bersuara, tidak ada kursi kekuasaan yang aman dari goyangan. Apalagi kalau pemilik kursinya terlalu santai duduk sambil ngegas rakyatnya sendiri. (*)