Malang, SERU.co.id – Nama Dr Reny Tiarantika menjadi sorotan dalam wisuda UB periode XX Tahun Ajaran 2024/2025. Perempuan berusia 26 tahun itu menjadi lulusan doktor termuda sekaligus lulusan terbaik pada wisuda tersebut dengan meraih IPK 4.00 (Cumlaude).
Dr Reny Tiarantika SPi MP mengungkapkan, dirinya bersyukur bisa menjadi lulusan doktor terbaik sekaligus termuda pada wisuda periode ini. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, namun ia melihat pencapaiannya lebih dari sekadar pencapaian pribadi.
“Di usia 26 tahun saya lulus S3, tidak mudah. Saya melihat pencapaian ini sebagai bentuk tanggung jawab dalam berkontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang saya tekuni,” seru Doktor Ilmu Lingkungan itu, Minggu (18/5/2025).
Dr Reny menjelaskan, dirinya menekuni pengelolaan sumber daya pesisir. Bidang ilmu tersebut berkaitan dengan jurusan yang dipelajarinya di jenjang S1, yakni Agribisnis Perikanan.
“Motivasi saya, karena saya senang belajar. Sejak masuk kuliah S1 ingin memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Terutama dalam bidang pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Aktivis LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Aqua UB itu percaya, pendidikan merupakan salah satu cara terbaik menciptakan perubahan. Dukungan keluarga dan mentor akademik juga sangat positif, sehingga memperkuat semangat melanjutkan pendidikan sampai jenjang doktor.
“Selain itu, saya mendapatkan beasiswa studi pascasarjana dari jenjang S2 sampai S3. Tidak semua orang mendapat kesempatan itu, jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya pada usia muda,” tuturnya.
Berkat ketekunan dan kepandaiannya, perempuan asal Kabupaten Kediri itu berhasil lulus dalam waktu singkat, selama 2,5 bulan. Bahkan, ia sudah menyelesaikan ujian terbuka doktor saat memasuki masa studi 2 tahun 1 bulan.
“Tantangan yang saya hadapi menjaga konsistensi dalam penelitian untuk memenuhi tuntutan akademik, misalnya publikasi di jurnal internasional bereputasi. Penelitian saya, meriset pendekatan model complex solution dalam pengelolaan ecotourism, yang saya teliti membutuhkan kajian multidisiplin,” bebernya.
Dr Reny menjelaskan, dirinya harus memperluas wawasan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk memenuhi tuntutan akademik. Ini menjadi tantangan baru, bagaimana penelitian tersebut bisa merangkul keseluruhan aspek dalam satu kajian riset.
Baca juga: Mahasiswa UB Raih Medali Perunggu Kejuaraan Dunia Kempo di Portugal
“Tantangan saya juga harus memiliki manajemen waktu yang baik. Alhamdulillah, saya mendapatkan motivasi dan dukungan penuh dari promotor dan co-promotor. Konsisten bekerja keras sehingga lulus dengan hasil memuaskan,” imbuhnya.
Ketekunan dan manajemen waktu yang dilakukannya membuahkan hasil di tengah padatnya aktivitas mengajar di UB, sekaligus menyelesaikan S3. Menurutnya, harus diakui, menyelesaikan disertasi tidak semudah menyelesaikan skripsi maupun thesis.
“Tidak mudah juga mengatasi kejenuhan dan kelelahan. Saya mengatasinya dengan mengelola stres dan membagi waktu secara efektif. Sering berdiskusi dan menjaga keseimbangan antara akademik dengan kegiatan lain,” ujarnya.
Dr Reny mengikuti berbagai kegiatan di luar kegiatan akademik, seperti aktif berorganisasi di bidang pers yang disukainya. Selain itu, ia menjalankan aktivitas penelitian sembari membangun relasi dengan masyarakat di tempat penelitian.
baca juga: FISIP UB Ajak Warga Wonosari Beralih dari Makanan Instan ke Ubi Jalar
“Penelitian saya berkaitan erat dengan riset-riset, sebelumnya tentang ekonomi pengelolaan sumber daya pesisir yang membutuhkan banyak komunikasi dengan masyarakat. Saya ingin mengembangkan pendekatan yang lebih komprehensif dan aplikatif, agar dapat digunakan sebagai model pengelolaan ecotourism yang berkelanjutan dan berdaya saing,” urainya.
Pengalaman berkesan selama kuliah, mampu mempublikasikan jurnal internasional bereputasi dengan indeks Q3 dan Q2. Selain itu, berkesempatan berpartisipasi dalam international conference dan terlibat dalam berbagai project penelitian yang berdampak pada pengelolaan sumber daya pesisir berkelanjutan.
Terakhir, Dr Reny berpesan, agar perempuan berani menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ia mengajak para perempuan menepis stigma yang menyatakan, perempuan lebih baik diam di rumah dan sulit mendapatkan pasangan jika terlalu pintar.
“Pendidikan tinggi bukanlah penghalang kehidupan, justru sebaliknya dapat memperluas wawasan dan membuka lebih banyak peluang karir dan kehidupan sosial. Saya percaya, perempuan yang berpendidikan tinggi memiliki potensi lebih besar untuk berkontribusi dalam berbagai bidang yang ditekuni,” tegasnya. (ws13/rhd)