Jakarta, SERU.co.id – Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP) secara mengejutkan mencopot Profesor Marsudi Wahyu Kisworo sebagai Rektor Universitas Pancasila (UP) untuk periode 2024–2028. Prof. Marsudi menduga pemecatannya berkaitan dengan sikapnya yang membela korban pelecehan seksual. Padahal, evaluasi rektor seharusnya dilakukan Senat Universitas, namun tidak dilibatkan sama sekali.
Marsudi membenarkan pencopotannya, namun mempertanyakan proses pengambilan keputusan tersebut. Biro Komunikasi UP menyebutkan, tidak ada komunikasi atau musyawarah sebelumnya dengan Marsudi maupun unsur pimpinan internal. Seperti Senat Universitas, para Wakil Rektor, Direktur dan jajaran kampus lainnya.
“Dialog terbuka dan musyawarah inklusif adalah prinsip dasar tata kelola yang baik. Saat ini, seluruh pimpinan universitas sedang berkoordinasi untuk menjaga stabilitas operasional kampus,” seru Biro Komunikasi UP dalam pernyataannya.
Marsudi menduga, pencopotan dirinya erat kaitannya dengan sikapnya yang membela korban kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret nama Rektor nonaktif UP, Edie Toet Hendratno (ETH). Ia mengungkapkan, pejabat kampus yang aktif mengadvokasi korban juga mengalami tekanan dan intimidasi serupa.
“Ada hubungan dengan kasus ETH. Tekanan dan intimidasi diberikan kepada pejabat yang aktif membela korban. Bahkan hingga pemberhentian sewenang-wenang tanpa prosedur yang adil,” ujar Marsudi.
Lebih jauh, Marsudi menyoroti, berdasarkan Statuta Universitas Pancasila, evaluasi rektor seharusnya dilakukan oleh Senat Universitas. Namun, Senat tidak dilibatkan sama sekali dalam proses ini.
Baca juga: Hasil Tes DNA Ungkap Keterlibatan Dokter Priguna dalam Kasus Pemerkosaan di RSHS Bandung
“Evaluasi kinerja ini sangat tidak objektif. Bahkan bertolak belakang dengan hasil evaluasi resmi dari kementerian yang bisa diakses publik melalui Dashboard Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi,” tegas Marsudi.
Sementara itu, kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan ETH terus berkembang. Dua korban baru, berinisial AIR dan AM, baru saja melaporkan ETH ke Bareskrim Polri. Dengan demikian, total empat korban telah melaporkan ETH ke pihak berwajib.
Kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat mengungkapkan, AIR mengalami pelecehan fisik pada tahun 2019 di salah satu lokasi di Jakarta Selatan. Menurut Yansen, ETH memanfaatkan relasi kuasa dalam kedudukannya sebagai rektor saat itu untuk memaksa korban melakukan tindakan tidak senonoh.
“Adanya relasi kuasa yang sangat kuat membuat korban butuh waktu lama untuk memproses trauma dan berani melapor,” kata Yansen, Jumat (25/4/2025).
Korban kedua, AM, melaporkan pelecehan secara verbal yang terjadi pada Februari 2024 dalam sebuah pertemuan di PIM 2. Menurut Yansen, ETH mengucapkan kalimat-kalimat melecehkan secara terbuka yang justru ditertawakan oleh tim yang hadir.
“Yang lebih miris, ucapan tidak pantas itu justru ditanggapi tawa. Memperlihatkan budaya internal yang sangat perlu dikoreksi,” ungkap Yansen. (aan/mzm)