Malang, SERU.co.id – Pernahkah kamu merasakan ketidakadilan hanya karena dirimu perempuan? Hal tersebut kini dirasakan mayoritas pendaftar Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Batch 3. Para perempuan yang telah menginvestasikan uang, waktu dan tenaga hanya untuk mendaftar, justru dihadapkan pada pembatasan kuota yang tidak pernah dijelaskan dengan transparan.
Salah satu keputusan yang paling mencuri perhatian adalah pembatasan kuota peserta perempuan yang hanya sebesar 10 persen.
“Adanya pembatasan kuota perempuan karena seluruh SPPI akan mengikuti pelatihan dasar militer dan akan ditetapkan sebagai Komponen Cadangan Pertahanan Negara yang selain bertugas di SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) juga dapat diberi tugas lain di daerah dan medan yang sulit apabila negara membutuhkan. Kemudian, adanya pembatasan kuota per daerah Kabupaten/Kota sesuai alokasi SPPG,” seru pernyataan dari akun resmi Instagram @unhan_ri.
Namun, penjelasan tersebut justru memunculkan kekecewaan mendalam di hati banyak peserta. Banyak peserta merasa pembatasan ini seolah menganggap perempuan tidak sekuat laki-laki dalam menghadapi tantangan berat. Sebuah pandangan kolot yang mengundang banyak pertanyaan tentang kesetaraan gender dalam kesempatan yang diberikan.
“Kenapa kami harus melalui proses yang begitu rumit dan menghabiskan biaya besar, jika pada akhirnya sudah ada pembatasan seperti ini?,” tanya Indri Stephani Manalu, salah satu peserta dari Medan.
Sebagai informasi, pembatasan kuota 10 persen ini tidak pernah ada sebelumnya. Namun para peserta sudah curiga usai jumlah kelulusan administrasi berdasarkan gender begitu kontras. Padahal, para peserta telah mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah untuk memenuhi semua persyaratan administrasi yang ketat.
Syarat pendaftaran untuk SPPI Batch 3 memang cukup rumit, dengan daftar panjang dokumen yang harus dipenuhi. Mulai dari NPWP, SKCK, surat kesehatan, bebas narkoba hingga surat izin dari tempat kerja bagi yang sudah bekerja.
“Jika memang ada aturan seperti itu, kenapa tidak dicantumkan sejak awal?. Kami merasa seperti diberi harapan palsu tanpa ada kejelasan yang seharusnya menjadi hak setiap pelamar,” ujar Tina, peserta dari Bojonegoro.
Sementara itu, Vhelya Octaviani dari Kendari mengatakan, sejak awal dirinya sudah meragukan keabsahan pendaftaran SPPI Batch 3.
“Surat edaran awal bahkan tidak memiliki kop surat, jadi banyak yang meragukan keabsahannya. Namun karena dorongan teman dan kebutuhan mencari pekerjaan, saya memutuskan untuk melanjutkan pendaftaran. Namun saya harus menyediakan surat bebas narkoba dan surat jasmani rohani yang biayanya tidak sedikit,” ujarnya.
Vhelya mengaku, biaya yang ia keluarkan untuk tiga surat tersebut mencapai lebih dari Rp 700 ribu. Biaya tersebut bahkan belum termasuk biaya lainnya. Belum lagi para peserta dari desa yang harus mengurusnya ke kota.
“Kenapa informasi ini tidak diberikan di awal melalui laman resmi?. Ini tindakan yang sangat tidak profesional,” tambahnya, menyayangkan kurangnya transparansi sejak awal.
Selain itu, Indri Stephani Manalu dari Medan juga menyoroti ketidakjelasan alasan ketidaklolosannya. Padahal sudah memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan.
“Mengapa kami harus berharap dan mengeluarkan biaya besar jika sejak awal sudah ditentukan siapa yang akan lolos? Apa salah kami sebagai perempuan?,” seru Indri dengan penuh kekecewaan, Jumat (28/2/2025).
Para peserta yang merasa sudah melengkapi semua persyaratan sudah mengirimkan email keluhan. Namun hingga saat ini belum ada tanggapan. Mereka juga terus mengumpulkan bukti sanggahan, termasuk bukti video peserta laki-laki yang tidak melengkapi dokumen tetapi dinyatakan lolos. (aan/mzm)