Membangun Tradisi Literasi Berbasis Tempat Ibadah

dr. sholikhul huda
Dr Sholikhul Huda

Oleh : Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I, Dosen Pascasarjana UM Surabaya

MEMBAYANGKAN setiap tempat ibadah memiliki perpustakaan dengan berbagai fasilitas lengkap tehnologi terdepan rasanya belum cukup menjamin terwujudnya tradisi literasi pada basis-basis tempat ibadah. Hal ini jika stakeholder dan tokoh penting setiap rumah ibadah tidak aware terhadap tradisi melek literasi.

Baca Juga

Sebut saja  tempat ibadah (red: Masjid, Gereja, Pura dan Vihara) yang  mungkin telah menyediakan fasilitas perpustakaan yang proper, toh rupanya belum signifikan mendongkrak minat baca masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Sebagai cerminan, hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Rendahnya minat baca sebuah negara secara umum akan menyebabkan kemampuan inovasi masyarakatnya rendah. Padahal, inovasi adalah kunci kemajuan bangsa. Bahkan, demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang warganya adalah pembaca.

Artinya peran tempat ibadah dalam meningkatkan minat baca dan pemahaman  Ilmu pengetahuan harus terus didorong seiring trend kemajuan teknologi yang semakin pesat. Hal ini sekaligus dalam rangka mengejar ketertinggalan sejumlah aspek berbagai sumberdaya khususnya human Indeks di level Asia maupun Dunia.

Lalu bagaimana peran tempat ibadah khususnya masjid dalam meningkatkan kwalitas sumberdaya manusia melalui minat baca dan literasi media sosial?

Masjid Pusat Peradaban

Secara istilah, masjid diartikan sebagai tempat suci untuk mendekatkan diri kepada Allah yang bebas dari kepentingan apapun kecuali mengharapkan kebaikan dari-Nya dan membentuk hamba yang saleh dengan sesama.

Ketika Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, Langkah pertama begitu sampai di Madinah adalah membangun masjid. Para ahli sejarah mencatat, langkah nabi tersebut merupakan strategi perjuangan yang sangat jenius. Melalui masjid, Rasulullah Saw telah mencetak banyak tokoh yang kemudian menjadi penerus dakwahnya.

Manurut Didin Hafidhuddin (2002), kader masjid pada zaman Rasulullah Saw adalah aktivis di berbagai bidang kehidupan. Sebagian dari mereka menjadi pedagang yang berhasil menguasai pasar; tentara yang disegani dan ditakuti musuh; birokrat yang Amanah, bertanggungjawab dan mencintai rakyat; cendekiawan pecinta dan penyebar ilmu pengetahuan; pengusaha dan pekerja yang memiliki moral dan etos kerja tinggi; serta penyebar risalah

 

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *