Ironi Maraknya Agama Digunakan Dalam Pemilihan Penguasa

• Isu agama lebih menyentuh emosional masyarakat

Kota Malang, SERU – Isu agama menjadi komoditas politik yang marak terjadi. Tak hanya di Pemilihan Presiden (Pilpres), namun juga trend saat Pilkada, Pilkades, dan pemilihan lainnya. Pasalnya, siapa pun yang mengusung agama pasti berdampak pada emosional masyarakat, khususnya pemilihnya.

Baca Lainnya

“Di Indonesia masyarakat beragama Islam lebih mendominasi. Namun, yang menjadi catatan penting selama Pemilu, dalam konteks politik, isu agama dan negara selalu bertautan. Dimana Islam sering dikotomi untuk mencapai tujuan tertentu. Meski ujungnya demi kekuasaan atau kemenangan calon pemimpin yang diusung,” seru Dr H Nazaruddin Malik SE MSi, Wakil Rektor II UMM, membuka Seminar Nasional Diseminasi Hasil Riset bertajuk Secular and Islamist Role in Indonesia Elections (Peran Sekuler dan Islamis dalam Pemilu Indonesia, red), di ruang sidang Senat UMM, Selasa (5/11/2019)

Acara yang diinisiasi Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM ini menghadirkan para pemateri, diantaranya Luthfi Assyaukanie PhD (Dosen Universitas Paramadina), Prof Masdar Hilmy MA PhD (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya), dan Prof Dr Syamsul Arifin MSi (Wakil Rektor I UMM).

Animo mahasiswa dalam memahami pola agama sebagai alat politik. (rhd)

Dosen Universitas Paramadina, Luthfi Assyaukanie PhD, mengatakan realita politik di Indonesia sangat rentan pertikaian, lantaran agama secara vulgar menjadi komoditas. “Politisasi agama ini sangat menjijikkan. Kedua capres sama-sama menggunakan agama. Pun kolega dan pendukungnya. Seperti pemilik salah satu partai yang beragama non muslim, nekat menggunakan atribut muslim datang ke ponpes dan parahnya disambut shalawat,” seru Luthfi.

Dengan agama, partisipasi masyarakat terhadap pemilu cukup meningkat, karena berhasil melibatkan emosional masyarakat. Bahkan menjadi produksi pengusaha kecemasan. Demo kelompok tertentu, baik yang dimobilisasi maupun tidak bersifat aktif, bukan lagi pasif. “Peristiwa ini pernah ditulis Aswan Nandi tentang politik di India. Ketika aspek agama dimainkan, maka tak ada beda sekuler dan religius. Ketika sekuler bermain keras, maka religius tak segan lebih ekstrim,” terang salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia ini.

Dalam Pilpres lalu, ada 2 kelompok yang terlibat, yaitu kelompok modernis melawan kelompok tradisional. Prabowo dengan Modernist, dan Jokowi dengan tradisional. Kedua kelompok ini berbeda, namun sama-sama menggunakan atribut agama. “Prabowo dengan Modernist, diindikasikan kelompok milenial dan cendekiawan berada di balik Prabowo. Bahkan cendekiawan muslim melalui label ulama pun mempersenjatai dengan Ijtima’ Ulama. Sementara Jokowi dengan Tradisional, sering mengusung tagline untuk kepentingan umat dari balik seragam NU. Meski selain NU, banyak juga kaum abangan yang mendukung,” beber pria kelahiran 27 Agustus 1967 ini.

Kenyataannya, lanjut Luthfi, mereka berdua sebenarnya adalah sekulerisme. Bagaimana background keluarga keduanya hampir sama, bukan agamis. Namun mampu menghipnotis masyarakat. “Benar-benar aneh dalam politik 10 tahun terakhir ini. Apalagi calonnya tetap, sehingga metodenya juga sama. Dan sekarang, masyarakat tahu hasil akhirnya bagaimana,” beber Luthfi.

Gayeng : Meski melibatkan emosional, dengan diskusi ini menjadikan pemahaman bahwa masyarakat telah dikadali. (rhd)

Tentang keterlibatan politik, menurut Luthfi, ketika kedua organisasi besar Islam (Muhamadiyah dan NU) dibandingkan, jumlah kader Muhammadiyah hanya sedikit yang terjun dalam politik. “Maka tak heran, Muhammadiyah ketika duduk di Kementerian sedikit. Namun bukan berarti representasinya seperti itu, NU juga ga banyak-banyak amat. Padahal, isu agama yang diusung melalui pendukungnya,” imbuh Luthfi.

Senada, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Masdar Hilmy MA PhD, mengatakan hasil akhir Pemilu bisa diukur melalui kabinet dan kebijakan terbaru, dimana kenyataannya masyarakat kembali dibuat kecewa. “Disisi kebijakan, masyarakat masih belum merasa diuntungkan. Seperti besaran iuran BPJS ternyata malah naik. Orang bilang, ealah pancet ae dikadali. Tapi bukan berarti, kalau pun Prabowo yang jadi presiden, kebijakannya beda. Karena dengan merapatnya Prabowo, setidaknya masyarakat bisa menilai sendiri,” terang Masdar.

Sementara di kalangan politisi, menurut Masdar, NU Kultural (partai) memang diakomodasi, namun secara struktural NU sangat kecewa. “Namun, jangan lupa meski bukan di Kementerian, namun NU mendapat kursi Wakil Presiden. Menteri agama bukan jatuh ke NU, menteri pendidikan pun bukan lagi ke Muhammadiyah,” tandas Masdar.

Sementara itu, Wakil Rektor I UMM, Prof Dr Syamsul Arifin MSi, mengatakan, masyarakat sekarang kecele dan kecewa, karena politik ternyata berakhir dengan kekhasannya. Padahal, karena politik, menimbulkan banyak keterbelahan dalam masyarakat selama kontestasi. “Jika ingat Teori Drama Turki, sama persis, dimana menggambarkan panggung depan penuh pencitraan dan panggung belakang kondisi sesungguhnya. Manifestasi simbolik agama menjadi alat yang mudah menyentuh emosional. Padahal ujungnya, kekuasaan dan bagi-bagi kursi,” tandas Syamsul. (rhd)

Berita Terkait

Iklan Cukai Pemkab Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *