Jakarta, SERU.co.id – Polemik royalti musik kembali mencuat serta membuat restoran dan kafe khawatir. Sejumlah restoran dan kafe bahkan memilih tidak memutar lagu dan menggantinya dengan suara alam. Pemerintah diminta segera memfasilitasi dialog antara musisi, pelaku usaha dan LMKN.
Pimpinan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Piyu mengakui, kekhawatiran pelaku usaha cukup meresahkan. Untuk itu, ia menyebut, AKSI segera bergerak mencari solusi.
“Ya tadi pagi saya baru diskusi FGD. Dari AKSI menyampaikan usulan tarifnya, gimana pelaksanaan dan implementasinya. Ditunggu saja,” ujar gitaris grup musik Padi Reborn ini.
Piyu juga menegaskan, tidak perlu ada ketakutan berlebihan karena regulasi tentang royalti sudah diatur sejak 2014.
Sikap serupa juga datang dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Ketua Umum LMKN, Dharma Oratmangun menilai, sah-sah saja bila tempat usaha memilih memutar suara burung. Namun ia mengingatkan, suara burung juga bisa memiliki hak cipta bila direkam dan diproduksi oleh pihak tertentu.
Salah satu manajer kafe di Kebayoran, Eca (23) memilih mengganti musik lokal dengan suara burung atau lagu-lagu asing karena takut terkena sanksi.
“Sementara ini enggak muter lagu lokal, saya takut dijebak. Jadi mending pasang lagu Inggris atau suara burung,” ujar Eca, dikutip dari Kompascom, Rabu (6/8/2025).
Ia juga menilai, mekanisme pembayaran royalti belum transparan dan sistem negosiasi kurang jelas. Dengan kapasitas 36 kursi, ia mengaku hanya mampu membayar sekitar Rp500 ribu per tahun. Sementara kewajiban bisa mencapai lebih dari Rp2 juta.
“Spotify aja enggak semahal itu. Jadi kami merasa lebih masuk akal bayar langsung ke platform streaming,” tambahnya.
Menanggapi keresahan ini, anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion meminta pemerintah segera memfasilitasi dialog antara musisi, pelaku usaha dan LMKN. Ia mengingatkan, pemberlakuan royalti harus mempertimbangkan kemampuan UMKM.
“Keputusan soal royalti ini tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Kita tentu menghargai dan melindungi hak cipta karya seni. Tapi, kebijakan ini juga harus memperhitungkan daya dukung pelaku usaha, apalagi yang berskala kecil dan menengah,” pungkasnya. (aan/mzm)