Ibarat makan buah khuldi, yakni buah larangan atau pantangan, untuk Adam dan Siti Hawa saat di Taman Surga Firdaus yang telah diperingatkan oleh Allah SWT. Namun dilanggar karena bujuk rayu setan, dan berbuah simalakama membawa Adam dan Hawa turun dari surga ke bumi. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-A’raf ayat 20-22.
Sama halnya, ketika banyak pihak menyerukan perangi hoaks (informasi bohong atau palsu), namun disisi lain masih banyak masyarakat yang ‘memakannya.’ Hingga tersebar dalam bentuk misinformasi maupun disinformasi, dan akhirnya berbuah simalakama.
Misinformasi adalah informasi yang keliru, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa itu benar. Sementara Disinformasi adalah informasi yang keliru, dan orang yang menyebarkannya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap menyebarkannya.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi hingga propaganda pada tahun politik saat ini. Informasi hoaks muncul seiring dinamika yang terjadi di masyarakat setiap masanya.
Merunut Pemilu 2019, sejak tahun 2018-2019 muncul hoaks terkait Pemilu. Seiring pandemi covid-19, pada tahun 2020-2022 muncul hoaks seputar covid-19. Demikian pula menjelang Pemilu 2024, telah muncul hoaks seputar Pemilu sejak tahun 2023.
Baca juga: Panggung Politik Sandiwara
Terdokumentasi turnbackhoax.id, sepanjang tahun 2023 mulai Januari hingga November, saat PERSpektif ini ditulis, tercatat 2.045 informasi hoaks. Mundur ke belakang, saya mencoba merekapitulasi berapa banyak informasi hoaks sejak tahun 2018 hingga 2022.
Tercatat 2018 sekitar 1.319 informasi hoaks, tahun 2019 sekitar 1.327 hoaks, tahun 2020 sekitar 2.449 hoaks. Kemudian tahun 2021 sekitar 1.921 hoaks dan tahun 2022 sekitar 1.718 hoaks.
Model informasi hoaks pun bervariasi dengan beragam ciri, seperti minim ide banyak drama, framing sosok yang diunggulkan, pendapat pribadi sok ahli, klaim seolah-olah benar, dan lain sebagainya. Sangat nampak sekali informasinya banyak intrik bergaya eksentrik.
Baca juga: Johanna Sang Pembaca Teks Sumpah Pemuda
Ironisnya, bukan sekedar informasi hoaks, maupun misinformasi dan disinformasi. Namun sudah menjadi pekerjaan buzzers, timses maupun lawan politik untuk mengerjai dan menyebarkan toxic atau racun. Kalau tak goreng sana sini, tak senggol sana senggol sini, tak bakal dapat duit.
Ibarat makan buah simalakama, netizens yang memakan dan menelan mentah-mentah jadi korban adu domba. Saling menghujat, saling curiga dan memfitnah, degradasi moral, muncul kelompok baru (cebong dan kadrun pada Pemilu 2019), hingga terjadi perpecahan anak bangsa Indonesia ini.
Dalam perjalanannya, media sosial (medsos) seolah bereinkarnasi menjadi ‘new media’ dalam platform podcast, YouTube, TikTok, X, Instagram, Facebook, dan lainnya. Cukup menyajikan tulisan singkat, meme, potongan video, infografis dan lainnya. Dibumbui musik, sound effect, tarian erotis dan sejenisnya, mampu menarik minat netizen dan meningkatkan viewers (pengunjung atau penonton) sebagai ladang cuan.
Payahnya, potongan tersebut main comot tanpa izin, bermodal menulis sumber dianggap izin, memotong medsos dari akun tak jelas hingga website media massa resmi. Secara kalkulasi, jelas hanya menguntungkan pelaku copas maupun comot, sementara media yang jadi korban saduran tak mendapatkan keuntungan.
Padahal, untuk memproduksi karya jurnalistik, media massa butuh modal besar dengan SDM dan kualifikasi bejibun. Medsos seenak jidat potong dan copas demi mendulang keuntungan pribadi maupun kelompok, tanpa mengindahkan etika dan aturan berlaku.
Dengan model main comot dan potong, informasi sebenarnya pun terdistorsi dan menjadikan viewers menjadi dungu. Uniknya, cara seperti ini sangat diminati oleh sebagian besar netizens kalangan minim literasi. Merujuk data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang rajin membaca.
Meski minat baca rendah, data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tak heran dalam hal kecerewetan di media sosial, orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Berbeda bagi kalangan intelek dan melek literasi, informasi yang dirasa diluar akal sehat dan tak masuk akal, patut ditelusuri kebenarannya. Mereka pun mencari literasi pada berbagai platform, umumnya media mainstream atau mass media menjadi rujukan dengan searching melalui google. Salah satunya SERU.co.id hingga turnbackhoax.id.
Berlandaskan pengertian informasi dan berita, keduanya tidaklah sama baik secara makna maupun teknisnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), informasi adalah pemberitahuan, kabar, keterangan. Sedangkan berita merupakan informasi tentang fakta dan peristiwa aktual menjadi sebuah karya jurnalistik dan dipublikasikan di media massa.
Secara teknis, berita diolah dari kumpulan fakta aktual, laporan dan informasi narasumber kompeten yang mengandung unsur 5W 1H. Memiliki nilai berita, menarik perhatian, sesuai kaidah dan kode etik jurnalistik. Dimana berita merupakan informasi yang kebenarannya sudah divertifikasi dan dicek oleh wartawan dan diedit oleh redaksi.
Sehingga, kemungkinan besar informasi yang ada saat ini menjadi kondisi yang tak pasti antara benar atau hoaks (palsu). Sementara berita yang ada saat ini, kemungkinan besar dipastikan benar, sehingga seringkali menjadi rujukan kebenaran suatu informasi.
Meski tak dapat dipungkiri, saat tahun politik seperti sekarang, beberapa media bisa saja membuat berita atas pesanan partai politik atau politisi tertentu. Sehingga isi tulisan berita mengarah pada framing, priming dan agenda setting, baik secara eksplisit maupun implisit.
Secara pembaca, cukup memposisikan diri secara netral, meski kadangkala kita bersikap obyektif untuk menjadikan sebuah penilaian atau keputusan. Dimana netralitas, harus benar-benar di posisi tengah, tidak memihak pihak tertentu. Sementara obyektif bisa saja menggiring, karena berdasarkan fakta yang ada.
Intinya, baik media maupun netizen sebagai pembaca maupun audiens, harus bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Karena Bhinneka Tunggal Ika lahir karena adanya perbedaan yang harmonis, demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. (rhd)