Penjatuhan Hukuman Mati Kepada Pelaku Korupsi

Penjatuhan Hukuman Mati Kepada Pelaku Korupsi
Aprilia Natasyaputri
Fakultas Hukum – Universitas Muhammadiyah Malang

Berita tentang munculnya pelaku korupsi hampir setiap hari kita dengar melalui media massa, mulai dari korupsi ringan hingga miliaran rupiah berhasil dirampas oleh para oknum pejabat pemerintahan. Barangkali, saat ini masyarakat sudah sampai dititik bosan dan jenuh ketika melihat dan mendengar pemberitaan seputar korupsi. Namun kenyataannya, pelaku dugaan tindak pidana korupsi masih terus membludak. Apalagi ditambah dengan baru-baru ini terjadi penangkapan terhadap hakim agung yang makin mengikis kepercayaan masyarakat. Berbagai upaya dalam mencegah dan menghilangkan korupsi sudah sangat ketat dilakukan, baik dengan pembentukan peraturan perundang-undangan maupun pembentukan komisi penanggulangan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi terjadi pada semua bidang di pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dari waktu-kewaktu pelaku korupsi datang silih berganti seiring dengan silih bergantinya aparat penegak hukum yang melaksanakan tugas pemberantasan korupsi. Kapolri berganti, Jaksa Agung berganti, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi berganti, bahkan Presiden-pun berganti, lembaga-lembaga anti korupsi dibentuk, undang-undang dan peraturan pun dibuat, namun korupsi tetap ada. Seakan tidak ada pejabat atau pemimpin negeri ini yang sanggup untuk menghentikannya dengan segala macam undang-undang atau komisi dan lembaga-lembaga yang ada.

Bacaan Lainnya

Penetapan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa berarti dalam penanganannya dibutuhkan cara yang mutakhir serta dibutuhkan suatu hukum pidana khusus yang menyimpang dari aturan umum hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun hukum acaranya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah korupsi yaitu dengan memberikan hukuman seberat-beratnya, salah satunya yaitu dengan diberikan hukuman mati. Hakim dalam putusannya hampir tidak ada yang menjatuhkan pidana mati dengan alasan yang memberatkan maupun meringankan dan faktor meringankannya jauh lebih dominan dilihat dari batas hukuman tertinggi, pendidikan, dan lain-lain.

Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat beberapa tindak kejahatan yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati, misalnya saja pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotik serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Dalam kasus tindak pidana korupsi sendiri, sebenarnya dapat diterapkan penjatuhan hukuman mati terhadap pelakunya dalam keadaan tertentu, seperti yang tertulis pada pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Penjatuhan hukuman tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, tinggal bagaimana Undang-Undang tersebut diimplementasikan dalam proses penegakan hukumnya. Keadaan tertentu di sini adalah sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.

Ancaman pidana mati yang diatur dalam pasal-pasal di atas bersumber pada Wetboek van Strafrecht yang disahkan sebagai KUHP oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1918. Pemberlakuan KUHP tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (sekarang UUD RI 1945) yang menyatakan segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUDNRI 1945 dan dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakukan Wetboek van Strafrecht menjadi KUHP.

Penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi masih menjadi perdebatan para praktisi hukum, walaupun pasal-pasalnya telah tertulis jelas dalam peraturan perundang-undangan. Tidak hanya praktisi hukum saja namun banyak masyarakat yang dengan terang-terangan menolak eksekusi mati terhadap tindak pidana korupsi ini. Pemberian hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi ini diharapkan memberikan efek jera kepada para pelakunya sekaligus membuat orang lain takut dan enggan melakukan tindak pidana korupsi ini.

Sebagian besar kalangan yang menolak keras penjatuhan hukuman mati tehadap tindak pidana korupsi ini berpendapat bahwa hukuman tersebut melanggar hak asasi manusia yang sebagaimana telah diatur dalam pasal 28A, 28I UUD NRI 1945, pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Pada prinsipnya hak asasi manusia adalah hak dasar setiap manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut di mana pun manusia berada. Namun dalam pendapat lain ada yang menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sama sekali bukan termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sebab pada dasarnya para pelaku tindak pidana korupsi tersebut telah menyengsarakan rakyat.

Dalam banyak putusan pengadilan, hakim hanya menjatuhkan pidana rendah kepada pelaku tindak pidana korupsi. Sedangkan ancaman hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diabaikan keberadaannya. Sampai saat ini belum pernah para koruptor yang didakwa dengan ancaman pidana mati yang kemudian menjadi pijakan bagi hakim untuk menjatuhkan vonis mati. Keadaan ini makin menunjukkan bahwa keadilan makin jauh dari masyarakat. Namun tidak ada yang lebih bertanggung jawab untuk melenyapkan tindak pidana korupsi ini selain pemerintah yang berkuasa. Terutama peran para penegak hukum sangat-sangat dibutuhkan. Apalagi Indonesia sudah memiliki undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi ini, tergantung bagaimana para penegak hukum dalam mempertimbangkan jatuhan hukuman bagi tindak pidana korupsi.


Baca juga:

Pos terkait