Jakarta, SERU.co.id – Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta Kemendikbudristek untuk merevisi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Syaiful mengatakan, dalam Permendikbudristek tersebut, definisi kekerasan seksual yang dituliskan dapat memicu multitafsir.
“Permendikbudristek [PPKS] tetap membutuhkan revisi terbatas,” kata Syaiful, Selasa (9/11/2021).
Menurut Syaiful, Permindukbudristek PPKS harus dilihat dari perspektif korban kekerasan seksual yang membutuhkan perlindungan hukum. Kendati demikian, ia memandang Permendikbudristek itu sudah cukup rinci. Dalam isinya, peraturan yang dimuat meliputi pencegahan kekerasan seksual, penanganan wajib kekerasan seksual di kampus mulai dari pendampingan, perlindungan, konseling, hingga adanya sanksi bagi pelaku.
“Secara umum korban kekerasan seksual berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan dari 2017-2019, kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 17.940 yang artinya terdapat 16 korban mengalami kekerasan seksual setiap harinya,” ungkapnya.
Ia menilai, perlu dilakukannya revisi terbatas pada Peremendikbudristek tersebut, terutama pada aspek substansi tentang definisi kekerasan seksual. Syaiful menyarankan, pihak Kemendikbudristek untuk berkonsultasi dengan pakar hukum atau agama dalam merumuskan norma konsensual agar memiliki kekuatan yang lebih mengikat bagi civitas akademika yang ingin melakukan hubungan seksual.
“Tidak ada salahnya Nadiem merevisi terbatas Permendikbud ini secara cepat untuk lebih menegaskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat, sehingga siapa saja yang hendak melakukan hubungan seksual secara bebas bisa dicegah,” imbuhnya.
Di pihak Kemendikbudristek, Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Nizam membantah adanya pemberian legalitas perzinahan dalam Permen tersebut. Nizam menjelaskan, aturan itu dibuat dengan fokus pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
“Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan’, bukan ‘pelegalan’,” tegas Nizam.
Adapun salah satu pasal yang menjadi polemik dalam Permendikbudristek PPKS itu adalah Pasal 5. Dalam pasal tersebut, terdapat frasa ‘tanpa persetujuan korban’, yang dinilai melegalkan zina jika kedua pihak saling menyetujui tindakan seksual.
“memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;” bunyi Pasal 5 ayat 2.
(hma/rhd)
Baca juga:
- Wabup Ulfi Jenguk Balita Digigit Ular Cobra di RSU Situbondo
- SPPG Tlogowaru Kota Malang Pekerjakan Masyarakat Lokal Sukseskan Program MBG, Sasar 4.800 Pelajar
- Rumah Dinas Sekda Situbondo dibobol Maling Saat Ditinggal Ibadah Haji
- Selama Libur Panjang Gunung Bromo Dibanjiri 11.735 Wisatawan Lokal dan Mancanegara
- Alfamart Gandeng Puskesmas Ardimulyo Layani Posyandu ILP dan Edukasi Balita hingga Lansia