Hilangkan Stigma Negatif, Periksakan Diri, dan Pengobatan Rutin
Kota Malang, SERU – Kota Malang merupakan kota terbesar kedua epidemik HIV/AIDS terbesar kedua di Jawa Timur, setelah Surabaya. Padahal, dari segi pendanaan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS cukup besar. Namun, semakin tahun terus bertambah. Dari penelusuran data dan fakta, ada banyak faktor penyebabnya.
Sebagai Kota Pendidikan, Kota Malang menjadi jujugan pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah. Sebagian kecilnya ada yang diduga dan positif mengidap HIV/AIDS. Sehingga saat dihitung berdasarkan data Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang berobat, jumlahnya meningkat. “Itu belum termasuk yang tertular, dan tidak terdeteksi. Umumnya mereka usia produktif, mulai belasan hingga 40 tahunan,” seru Rica Wanda, Focalpoint Jaringan Indonesia Positif (JIP) Kota Malang, saat diskusi bersama komunitas, LSM dan institusi kesehatan peduli HIV/AIDS, serta awak media.
Selain itu, stigma negatif masyarakat terhadap ODHA, mengakibatkan mereka malu dan tertekan secara psikologis hingga memilih menyembunyikan keadaannya. Resiko penanganan dan pengobatan menjadi terhambat, sehingga virus HIV/AIDS semakin mengganas. “Stigma negatif mengakibatkan depresi, sehingga pengobatan menjadi terhambat. Itu bagi positif ODHA. Pun bagi masyarakat yang ingin memeriksakan diri apakah aman (negatif) atau tidak, pasti takut dengan justifikasi itu. Sehingga memilih tidak mau tahu kondisinya, lalu berhubungan dengan pasangan atau aktivitas lain. Maka kemungkinan besar, menulari orang lain karena tak melakukan aturan yang aman,” papar Rica.
Pentingnya edukasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat awam, selain meminimalisir stigma negatif, juga mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS kepada pasangan, anak, keluarga dan orang-orang terdekat. Pasalnya, HIV tidak semudah itu menular. Penularan tidak bisa secara langsung, dan butuh waktu inkubasi lama. Penularan bisa melalui jarum suntik, ganti pasangan tanpa pengaman, ibu menyusui, dan lainnya. Meski resiko sekali kena, harus minum obat seumur hidup.
“HIV tidak membunuh, namun menurunkan kekebalan tubuh yang menjadi penyebab epidemik penyakit lain. Umumnya mereka meninggal karena penyakit lain tersebut, bukan HIV. Dan itu murni bukan kesalahan mereka. Contohnya anak-anak yang positif, apakah mereka melakukan sex bebas. Tidak. Bisa saja mereka tertular saat disusui ibunya. Sementara ibunya tertular karena ayahnya. Apakah itu salah mereka?” seru Kasie Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Kota Malang, dr. Bayu Tjahjawibawa.
Dalam pandangan awam masyarakat umum, HIV sangat menakutkan. Padahal bagi penderita HIV/AIDS, dan penderita penyakit kronis lainnya, kemungkinan untuk sembuh sama-sama minim. “Untuk bertahan hidup, mereka sama-sama harus konsumsi obat. Dan itu seumur hidup. Mereka meninggal justru karena penyakit lain. Seperti Tuberkulosis (TB), Hepatitis, ISPA, dan lainnya, karena daya tahannya sangat menurun,” beber Bayu.
Untuk pencegahan dan penanggulangan, bisa dilakukan pemeriksaan di 16 Puskesmas dan lembaga kesehatan lainnya. Serta link medsos pegiat seperti “Saya Berani”. Inisiatif antisipasi resiko dengan datang sukarela itu lebih baik. Nantinya, akan dilakukan pemeriksaan dan konseling untuk menjaga kesehatannya agar tidak menulari. “Kemungkinan tertular itu karena cairan sperma, darah, dan lainnya. Selain itu, seperti salaman, tukar alat makan di warung, duduk berdekatan di udara bebas, itu tidak menular. Silakan diperiksakan, tak hanya tenaga medis yang mendampingi, nanti ada rekan-rekan LSM akan membantu,” tandas Bayu.
Sementara itu, sebut saja Troy (nama samaran), salah satu ODHA berani mengungkapkan jati dirinya. Dia mengaku menjadi pengguna napza sejak 15 tahun yang lalu. Namun baru terdeteksi mengidap HIV/AIDS sekitar 9 tahun yang lalu. Berkat pengakuan jujurnya kepada sang istri, meski dirinya positif, namun kini istri dan ketiga anaknya dinyatakan negatif.
“Saya mengaku jujur kepada istri dan keluarga besar, mengidap HIV karena napza. Bukan pergaulan bebas. Memang berat, meski akhirnya istri dan keluarga mau menerima kenyataan. Lingkungan mau bilang apa, saya cuek. Karena dukungan keluarga menjadi semacam obat buat saya untuk sembuh meski itu kecil. Saya rutin konsumsi ARV, seks menggunakan kondom, dan kini virus saya tak terdeteksi,” ungkap salah satu pentolan Metamorfosis, LSM pendamping ODHA.
Sementara itu, penanganan di Lapas, ODHA dikumpulkan dalam satu ruangan. Tujuannya, bukan untuk mengucilkan, namun membuat mereka merasa nyaman tanpa bully dan stigma negatif dari tahanan lain. Selain itu, memudahkan ODHA dalam mendapatkan penanganan medis dan monitoring secara kondusif. Sekaligus meminimalisir keributan di Lapas.
“Stigma negatif ini sangat kuat di dalam Lapas. Bahkan resikonya lebih besar jika identitas penyakitnya diketahui. Selain dijauhi tahanan, keluarga tidak akan menjenguk, bahkan mereka bisa jadi diceraikan pasangannya. Kami mengkamuflase mereka dalam ruangan lain. Tidak banyak, hanya belasan,” ungkap Cahyo, dokter pendamping ODHA di Lapas Klas I Lowokwaru, didampingi dokter pendamping ODHA di Lapas Perempuan Klas II Sukun, dr Iin Indarti
Dalam penanganan jenazah ODHA di Lapas, keduanya mengaku tidak memperlakukan jasad dengan dibungkus plastik. Sebagaimana pernah ditemukan perlakuan oleh salah satu RS pemerintah di Kota Malang dengan membungkus jasad dengan plastik. Sehingga dampaknya, keluarga merasa dipermalukan di dalam kehidupan masyarakat setempat. (rhd)