Jakarta, SERU.co.id – Tujuh fraksi partai politik DPR RI, DPD RI, dan pemerintah telah menyepakati Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) pada tingkat I. Keputusan diambil dalam sidang paripurna DPR RI, Sabtu (3/10/2020).
Rapat ini diawali dengan pembacaan hasil kerja Panitia Kerja (Panja) yang dibacakan oleh Baleg Willy Aditya. Willy mendorong agar RUU tersebut disetujui untuk menjadi Undang-Undang (UU) melalui sidang paripurna DPR.
“Panja berpendapat bahwa RUU Ciptaker dapat dilanjutkan pembahasannya dalam pembahasan tingkat II yakni, pengambilan keputusan agar RUU Ciptaker ditetapkan sebagai Undang-Undang,” sebut Willy.
Kendati disepakati oleh DPR, RUU Cipta Kerja mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, khususnya oleh serikat pekerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut, terdapat 7 poin dalam RUU Cipta Kerja yang ditolak oleh buruh.
- Upah minimum
Dalam RUU Ciptaker, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapuskan. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) juga dibuat memiliki syarat dengan melihat laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
Menurut KSPI, UMK seharusnya tidak perlu dibuat bersyarat, karena besarannya di tiap kabupaten/kota berbeda. Sementara, untuk UMSK seharusnya tetap diberlakukan. Iqbal memberikan gambaran, untuk jalan tengah UMSK, dapat dilakukan di tingkat nasional untuk sejumlah daerah dan jenis usaha tertentu, sehingga tidak perlu diputuskan di tingkat daerah.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” kata Iqbal.
- Pesangon dikurangi
Nilai pesangon dalam RUU Ciptaker dikurangi jumlahnya. Dari awalnya 32 kali upah pesangon, menjadi hanya 25 kali. Rinciannya, 19 bulan dibayarkan pengusaha, 6 bulan dibayar oleh BPJS Ketenagakerjaan. KSPI mempertanyakan, asal dana pesangon yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan tersebut.
“Karena tanpa membayar iuran, tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini,” ujar Iqbal.
- Sistem outsourcing seumur hidup
Dalam RUU Ciptaker dijelaskan, kontrak outsourcing bisa seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan. Hal ini berbeda dengan sebelumnya.
“Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan,” jelasnya.
- Kompensasi didapat setelah 1 tahun
Kompensasi juga menjadi salah satu yang dibahas dalam RUU Ciptaker. Disebutkan, pekerja akan mendapatkan kompensasi jika masa kerjanya telah mencapai minimal satu tahun. Hal ini membuat kekhawatiran bagi buruh yang dikontrak di bawah satu tahun.
“Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi,” tanya Iqbal.
Hal ini juga dapat menjadi celah bagi pengusaha untuk mengontrak pekerja di bawah satu tahun untuk menghindari pembayaran kompensasi.
- Kontrak kerja tak berbatas waktu
Skema yang ditawarkan dalam RUU Ciptaker ini adalah skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tak memiliki batas waktu. Ini dapat menjadikan buruh dikontrak seumur hidup tanpa diangkat menjadi karyawan tetap.
“Buruh menolak PKWT seumur hidup,” tegas Iqbal.
- Hak upah cuti hilang
Buruh yang mengambil cuti melahirkan dan haid tak akan dibayar. Buruh tak menyetujui hal ini karena, dapat memungkinkan buruh wanita lebih memilih untuk bekerja dibanding mengambil cuti melahirkan dan haid. Ini juga bertolak belakang dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
“Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar. No work no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya, karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut,” ujar Iqbal.
- Waktu kerja berlebihan
Waktu kerja yang ada di dalam RUU Ciptaker ditolak oleh buruh, karena dipandang berlebihan dan eksploitatif.
“Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif,” tegasnya.
Secara ringkas, dalam RUU Ciptaker mengatur jam kerja pekerja. Pekerjaan paruh waktu diatur paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sementara untuk pekerjaan khusus, seperti di sektor migas dan pertambangan, dapat lebih dari 8 jam per hari. (hma/rhd)