Malang, SERU.co.id – Prof Dr Asihing Kustanti SHut MSi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pengelolaan Hutan. Ia menjadi Profesor aktif ke-33 di Fakultas Pertanian, Profesor aktif ke-235 di UB dan Profesor ke-412 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan UB. Prof. Asihing memperkenalkan model inovatif untuk pengelolaan hutan berkelanjutan lewat Brawijaya Smart People and Sustainable Forest (BrawijayaSPSF).
Dalam orasinya, Prof. Asihing menyoroti pertumbuhan populasi manusia meningkatkan permintaan terhadap sumber daya alam. Termasuk makanan, tempat tinggal, serat dan ruang penghidupan layak. Jika tidak dikelola dengan bijak, eksploitasi sumber daya ini dapat memicu kerusakan lingkungan yang signifikan.
“Oleh karena itu, saya merancang model BrawijayaSPSF, mengintegrasikan aspek kelembagaan, keterlibatan pemangku kepentingan dan karakteristik ekosistem hutan dalam pengelolaan lebih berkelanjutan. Model ini melengkapi pembahasan secara holistik terkait kinerja pengelola kawasan hutan yang berorientasi pada aturan main, sosial, ekonomi dan karakteristik ekosistemnya,” seru Prof. Asihing, Senin (24/2/2025).
Sebagai bagian dari kajian akademiknya, Prof. Asihing menggunakan UB Forest seluas 574,44 hektare sebagai studi kasus utama. Hutan yang terletak di ketinggian 700-1200 mdpl ini sebelumnya merupakan kawasan Perhutani yang kemudian dikelola UB sejak 2015 untuk kepentingan penelitian dan pendidikan.
Lebih dari dua dekade, Prof. Asihing telah meneliti berbagai ekosistem hutan, termasuk hutan mangrove, hutan hujan tropis, hutan rawa, hutan musim, hutan pantai dan hutan gambut. Ia menekankan, setiap jenis hutan memiliki karakteristik unik yang memengaruhi cara pengelolaannya.
“Saya membagi aspek utama pengelolaan hutan ke dalam tiga elemen kunci. Yakni karakteristik hutan, aktor yang terlibat serta regulasi dan kebijakan,” tambahnya.
Menurutnya, jika suatu kawasan hutan dikelola dengan baik, masyarakat di sekitarnya akan sejahtera. Namun, jika hutan dieksploitasi tanpa memperhatikan karakteristiknya, dampak negatifnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat lokal.
Salah satu keunggulan BrawijayaSPSF dibandingkan teori pengelolaan hutan sebelumnya adalah pendekatan berbasis karakteristik ekosistem. Model ini tidak menyamaratakan pengelolaan seluruh hutan dalam satu konsep seraga. Melainkan mempertimbangkan variabilitas ekologis dan sosial di setiap kawasan.
“Penelitian saya ini telah berlangsung sejak 2002 dengan studi kasus di hutan Mangrove dimana luasnya di seluruh dunia sedikit tetapi sangat esensial mempengaruhi kehidupan wilayah daratan. Sejauh ini belum ada model serupa baik di Indonesia maupun dunia. Saya berencana untuk mempatenkannya,” ungkapnya.
Model ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah dan sektor yudikatif dalam merancang kebijakan kehutanan yang lebih adaptif dan partisipatif. Prof. Asihing menegaskan, solusi jangka panjang bagi keberlanjutan hutan adalah dengan memastikan setiap kebijakan mempertimbangkan karakteristik hutan. Melibatkan pemangku kepentingan yang tepat dan menerapkan regulasi yang sesuai.
Sebagai langkah selanjutnya, ia mendorong kolaborasi lebih luas antara akademisi, pemerintah, masyarakat lokal dan sektor swasta untuk menerapkan model ini secara nyata di berbagai ekosistem hutan di Indonesia.
“Dengan begitu, konsep Brawijaya Smart People and Sustainable Forest dapat menjadi solusi nyata dalam menjawab tantangan pengelolaan hutan secara berkelanjutan di era modern ini,” pungkasnya. (afi/mzm)