Malang, SERU.co.id – Pilkada Kota Malang kali ini menghadirkan dinamika politik yang kompleks dengan persaingan ketat. Sementara itu, pemilih muda juga semakin kritis dan melek teknologi turut mempengaruhi peta perolehan suara. Di tengah panasnya kampanye, peran akademisi dan media sosial kian menjadi faktor penentu dalam membentuk opini publik dan menentukan hasil akhir Pilkada.
Peneliti perilaku pemilih di era digital, Andhyka Muttaqin mengungkapkan, perbedaan yang mencolok antara pemilih tradisional dan rasional di Malang. Pemilih tradisional cenderung memilih berdasarkan loyalitas terhadap partai-partai besar atau karena hubungan emosional dengan calon. Sementara itu, pemilih rasional lebih kritis dan mempertimbangkan program, visi, misi dan rekam jejak kandidat.
“Di Kota Malang, hubungan patron-klien masih berpengaruh kuat. Para pemilih seringkali terikat oleh relasi dengan tokoh masyarakat, hormat, atau bahkan praktik politik uang, meskipun dilarang. Kondisi ini lebih sering ditemukan pada pemilih dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang lebih rendah,” seru Andhyka, Kamis (12/9/2024).
Lebih lanjut , menurut Andhyka, pemilih muda yang terpengaruh oleh kampus-kampus besar seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang menunjukkan kecenderungan berbeda. Mereka lebih kritis, responsif terhadap isu-isu global seperti lingkungan, digitalisasi dan inovasi sosial.
“Para pemilih muda lebih selektif dalam memilih kandidat yang diyakini mampu membawa perubahan nyata,” tegasnya.
Selain itu, Andhyka juga menyoroti kampanye digital. Menurutnya, kampanye digital menjadi senjata ampuh bagi kandidat yang mampu memanfaatkannya secara efektif. Terutama di kalangan pemilih muda dan melek teknologi, media sosial berperan besar dalam menentukan pilihan mereka.
“Pada Pilkada kali ini, beberapa pasangan calon unggulan muncul dengan strategi dan dukungan berbeda. Namun tentu memiliki keuntungan dan tantangannya sendiri,” bebernya.
Pasangan Wahyu Hidayat-Ali Muthohirin didukung oleh 13 partai koalisi. Dukungan besar ini mencerminkan kemampuan mereka dalam membangun aliansi politik luas, menjadi modal penting dalam menggalang suara. Namun, koalisi besar juga menghadapi tantangan dalam menyatukan berbagai kepentingan partai, jika tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan konflik internal.
“Pasangan Abah Anton-Dimyati Ayatullah didukung oleh PKB, Demokrat dan PAN yang solid dan terorganisir. Meski didukung oleh lebih sedikit partai, mereka memiliki basis pemilih yang kuat. Tantangan terbesar mereka adalah bagaimana menjaga agar dukungan dari ketiga partai ini tetap solid hingga akhir, serta meyakinkan pemilih di luar basis tradisional,” urainya.
Pasangan lainnya, Heri Cahyono dan Ganis Rumpoko, diusung oleh PDIP juga menghadapi tantangan tersendiri. Meskipun diusung oleh partai besar yang memiliki basis massa loyal, status Heri Cahyono sebagai calon independen menciptakan dilema.
“Peran akademisi di mana? Akademisi berperan penting dalam menjaga kualitas demokrasi lokal. Mereka tidak hanya berperan sebagai pengamat independen, tetapi juga memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan keterlibatan aktif akademisi, Pilkada Kota Malang diharapkan dapat berlangsung dengan lebih demokratis dan berkualitas,” ujarnya.
Tidak kalah penting, Andhyka mengungkapkan, Kota Malang memiliki swing voters signifikan. Yakni pemilih yang tidak terikat pada partai tertentu dan lebih memilih berdasarkan performa kandidat. Segmen ini kerap menjadi penentu kemenangan karena mereka bisa beralih dari satu kandidat ke kandidat lain menjelang hari pencoblosan.
“Kandidat yang mampu meraih kepercayaan kelompok ini diprediksi memiliki peluang besar untuk memenangkan Pilkada. Dengan dinamika kompleks dan segmen pemilih beragam, hasil akhir Pilkada Kota Malang masih sulit diprediksi. Makanya saya tegaskan, tidak ada calon yang mendominasi di Pilkada Kota Malang kali ini,” pungkasnya. (afi/ono)