- Terima mediasi, penggugat ajukan tiga syarat
Malang, SERU – Sidang perdana gugatan (class action, red) warga terdampak krisis air kepada Perumda Tugu Tirta dan DPRD, berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Malang Kelas IA, Selasa (28/1/2020). Hasil keputusan sidang sementara sebagaimana saran hakim, kuasa hukum penggugat, tergugat dan turut tergugat, sepakat menempuh jalur mediasi atau upaya damai.
“Antara penggugat, tergugat dan turut tergugat, sepakat menempuh jalur mediasi. Dengan jalur mediasi atau upaya damai ini, semua pihak diuntungkan. Alasannya, karena semata demi kepentingan masyarakat Malang. Sekaligus implementasi salam satu jiwa,” ungkap Teguh Prianto Hadi, SPd, SH, kuasa hukum dari PDAM atau Perumda Tugu Tirta.
Sepanjang proses mediasi hingga pertemuan sidang berikutnya, Perumda Tugu Tirta berjanji tetap memberikan pelayanan sebagai itikad baik kepada masyarakat. Masa mediasi berlaku 30 hari dan bisa diperpanjang. “Nanti kami masih ketemu untuk bincang-bincang sharing dulu. Kami belum bisa memenuhi materi gugatan sepenuhnya. Kami masih harus menghadap kepada hakim mediasi,” tambah Teguh, didampingi kuasa hukum DPRD Kota Malang, Michael J. Zefanya, SH, MH, sembari menambahkan agenda sidang selanjutnya Rabu (5/2/2020).
Sementara itu, anggota Komisi B, Arif Wahyudi, menyatakan upaya mediasi tersebut merupakan tawaran dari hakim. “Karena yang menggugat itu rakyat, dan kami ini kan dari perwakilan rakyat, maka kami menerima tawaran hakim untuk mediasi. Hasil koordinasi dengan mediator, nanti 5 Februari 2020 akan dilanjutkan resume masing-masing principle,” beber Arif, dari fraksi PKB.
Baca Juga : Puncak Kekesalan, Warga Terdampak Krisis Air Gugat Perumda Tugu Tirta dan DPRD
Terkait penyediaan air bersih, lanjut Arif, DPRD Kota Malang akan terus melakukan upaya kontroling sesuai fungsi DPRD. “Saat kejadian pertama, kami langsung memanggil Direktur PDAM sebagai upaya penjelasan dan pertanggungjawaban. Bahkan kami mengajak PDAM untuk melihat sumber air lainnya sebagai upaya mandiri, agar kejadian ini tidak terjadi lagi,” tandas Arif.
Menanggapi keputusan mediasi ini, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) BIMA Malang, Abdul Wahab Adhinegoro SH, MH, bersama tujuh rekan lainnya, selaku kuasa hukum Ali Amran dan Abdul Malik, warga terdampak krisis air di Perumahan Bulan Terang Utama (BTU), menerima keputusan tersebut. Namun ada beberapa syarat yang diajukan untuk dipenuhi oleh pihak Tergugat dan Turut Tergugat.
“Prinsipnya damai ga masalah. Tapi kami mengajukan tiga syarat. Pertama, pak Walikota menghentikan narasi menyesatkan yang menyebut ini force major. Kedua, PDAM harus merevitalisasi jaringan sesuai dengan speknya. Ketiga, memenuhi ganti rugi yang diminta penggugat Rp 2 juta,” beber Wahab.
Merinci syarat pertama, Wahab menyitir pernyataan Walikota Sutiaji yang menyebut kejadian ini adalah force major. Selain itu, terkait kompensasi yang diberikan kepada warga terdampak disebut Walikota tidak memiliki landasan hukum. “Ini bukan force major karena bencana atau gempa, tapi pelaksanaannya diakui Direktur dibawah spek. Selain itu, ada payung hukumnya, yaitu UU nomor 8 tahun 1999 pasal 4, serta pasal 1365 KUHP Perdata. Beliau itu Walikota lho, bukan Ketua RW. Statementnya memalukan,” jelas Wahab.
Terkait spek pipa, jika yang dibutuhkan tekanan 16 bar berarti pipa yang dipasang harus 16 PN. Selama ini yang dipasang pipa dibawah spek 10 PN. Jika nantinya butuh waktu 1-2 bulan pengerjaan, menurutnya tidak ada masalah. “Yang penting selama pengerjaan, warga yang terdampak bisa terlayani/tersupply air dengan baik. Dan selama perbaikan tidak dipungut biaya apapun, baik air bantuan yang dipakai, abonemen, atau apalah. Bukan gratis lho, tapi sebagai kompensasi,” beber Wahab.
Meski diakui PDAM hanya sebagai penerima dan pengguna proyek bantuan KemenPUPR. Sepatutnya ketika menerima pelimpahan, harus dipahami. “Ada dua kemungkinan, Pemkot Malang tidak paham teknis dan menerima begitu saja. Atau tahu spek tidak sesuai, namun tetap diterima, sehingga patut diduga ada kongkalikong,” tandas Wahab. (rhd)