Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

Sendi Dwi Astuti Nasrulah - Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan
Sendi Dwi Astuti Nasrulah
Universitas Muhammadiyah Malang

Kekerasan terhadap anak dan perempuan merupakan kasus yang tidak asing di dengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Hampir setiap hari kolom berita di media masa yang memunculkan tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan. Berbagai macam alasan yang diberikan para pelaku kekerasan ini, mulai dari anggapan wanita lemah, anak anak yang mudah dibodohi, dan sebagai. Dampak yang diberikan luar biasa bukan hanya bagi korban tetapi bagi keluarga korban.

Sebenarnya, kekerasan terhadap anak sudah diatur dalam pasal 1 UU No.23  tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan UU tersebut semua pihak baik pemerintah, orang tua, keluarga maupun masyarakat wajib memberikan perlindungan terhadap anak dari segala tindakan yang merugikan anak. Meskipun sudah adanya peraturan yang memberikan jaminan untuk melindungi anak, namun fakta nya membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari tindakan kekerasan dimana masih banyak kasus kasus yang korbannya ialah anak anak.

Bacaan Lainnya

Melalui salah satu sumber yang menjelaskan data kekerasan terhadap anak mulai pada bulan Januari 2022 hingga saat ini, terdapat sekitar 379 kasus dimana 77 diantaranya ialah korbannya laki laki dan 334 nya perempuan. Lebih banyaknya korban pada perempuan tersebut diakibatkan adanya anggapan bahwa perempuan lemah apalagi masih dibawah umur. Kebanyakan kasusnya diawali dari pelecehan seksual yang berujung tindak kekerasan terhadap korban. Dampak yang diakibatkan sangat banyak bukan hanya mental korbannya melainkan juga dari keluarganya.

Menurut Data Sistem Informasi Online (SIMFONI) Kemen PPPA  menunjukkan, kasus kekerasan yang menimpa para korban terjadi di berbagai tempat. Paling banyak kasus kekerasan terjadi di rumah tangga, fasilitas umum, dan tempat  tempat lainnya, sedangkan kasus kekerasan di sekolah dan tempat kerja jumlahnya kecil. SIMFONI juga mencatat keluarga memiliki korban kekerasan terbanyak, disusul oleh tempat yang masuk dalam kategori lainnya misalnya sekolah, tempat kerja, dan lain lain. Sementara itu, dari jenis kekerasan yang dialami, SIMFONI mencatat bahwa kekerasan seksual menempati urutan pertama, disusul oleh kekerasan fisik, psikis, kekerasan yang masuk dalam kategori lainnya, penelantaran, trafficking, dan eksploitasi.

Pada 22/01/2022, terdapat kasus kekerasan pada anak dibawah umur. Seorang anak 15 tahun yang berinisial R menjadi korban kekerasan dan di telantarkan oleh orang tuanya di Jatiasih, Kota Bekasi. Ia menderita luka lebam di pergelangan tangan dan kakinya karena terikat rantai. Ia juga mengalami kelaparan akibat ditinggalkan sendiri oleh orang tuanya.

Diketahui dari kasus tersebut, orangtua dari R mempunyai permasalahan di bidang ekonomi yang menyebabkan R menjadi korbannya. Mungkin karena orang tuanya yang merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya, mereka rela menyakiti anaknya sendiri. Pada akhirnya, orang tua dari korban yang terbukti melakukan penyiksaan dijerat dengan Undang Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Di tahun 2022 ini, terkumpul sebanyak 3.838 kasus yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan. Kasus yang dilaporkan tersebut berisi tentang penyiksaan dan perlakuan tidak menusiawi terhadap perempuan berhadapan dengan hukum (PHB) yang diidentifikasi telah mengalami penyiksan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam proses pemeriksaan. Bentuk penyiksaan seksual seperti penelanjangan, pemerkosaan, kekerasan verbal termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik.

Beberapa kasus terhadap perempuan yang dilaporkan kebanyakan mengenai penyiksaan dan pelecehan seksual. Padahal peraturan sudah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang pelecehan seksual. Namun kasus kasus pelecehan terhadap perempuan masih terjadi, belum lagi banyak kasus yang para korbannya enggan melaporkannya dengan berbagai alasan dan ancaman dari pelaku. Hal tersebut dapat diartikan  bahwa peraturan atau hukum di Indonesia tentang perlindungan terhadap perempuan masih kurang.

Pada akhir September 2022, masyarakat Indonesia di hebohkan dengan kasus KDRT yang dialami oleh penyanyi Lesti. Lesti melaporkan suaminya ke pihak kepolisian karena telah melakukan penyiksaan terhadap dirinya sehingga mengalami cedera dan luka di beberapa bagian tubuhnya.

Pada kasus ini kepolisian menyelidiki penyebab terjadinya kasus kekerasan ini, hal tersebut disebabkan karena adanya permasalahan rumah tangga yaitu perselingkuhan yang membuat Lesti ingin pulang ke rumah kedua orang tuanya. Rizky Billar yang tidak mau permasalahan keluarganya didengar oleh orang tuanya, akhirnya menahan si Lesti dengan cara mendorong, membanting hingga mencekik sang istri Rizky Billar yang terbukti melakukan kekerasan terjerat pasal 44 ayat 1 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Kasus tersebut menunjukan adanya kekerasan terhadap perempuan. Adanya beberapa sebab yang menyebabkan sang suami tega melakukan kekerasan terhadap istrinya. Namun semua tindak kekerasan tidak ada pembetulan, pihak kepolisian menerima kasus ini dan memprosesnya sehingga pada tanggal 13 Oktober 2022 Rizky Billar ditetapkan menjadi tersangka kasus kekerasan terhadap rumah tangga.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan persoalan yang perlu diselesaikan.  Kerap kali, korban kekerasan tidak menyuarakan apa yang mereka alami, baik itu kekerasan secara fisik, mental, maupun seksual.  Banyak di antara korban yang kesulitan melapor atau tak berani untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Sebenarnya pemerintah sudah menyediakan layanan untuk menyuarakan kekerasan. Salah satunya melalui  Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA). Cara tersebut dilakukan agar para korban berani menyuarakan apa yang ia alami dan meminta keadilan hukum.


Baca juga:

Pos terkait