Malang, SERU.co.id – Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pernyataan Menko Polhukam RI, Mahfud MD, yakni Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 bukanlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Koalisi menilai, pernyataan yang disampaikan oleh Menko Polhukam tersebut tidaklah berdasar dan menyesatkan. Pasalnya, ia tidak memiliki wewenang untuk menyatakan suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat atau tidak.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari YLBHI-LBH Pos Malang, Daniel Siagian mengatakan, lembaga yang berwenang dan layak menentukan hal itu adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ini merujuk pada Pasal 18 UU 26 Nomor Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Disana tercantum, Komnas HAM dalam mengungkap peristiwa pelanggaran HAM berat, baik dalam bentuk kejahatan genosida maupun kejahatan kemanusiaan dapat melakukan penyelidikan dan membentuk tim ad hoc.
“Meskipun Menkopolhukam menjelaskan pernyataan yang disampaikannya tersebut berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, menurut kami pernyataan tersebut tetaplah keliru,” serunya.
Daniel, sapaan akrabnya menuturkan, jika merujuk pada keterangan pers Komnas HAM Nomor 039/HM.00/XI/2022 tentang penyampaian laporan tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang, pelaksanaan pendalaman kasus oleh Komnas HAM ini menggunakan kerangka UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bukan menggunakan UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dapat menyatakan suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak yang didasari pada proses penyelidikan. Menurut Daniel, tragedi kanjuruhan ini memiliki potensi untuk dapat disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat apabila proses penyelidikan oleh Komnas HAM dapat dilakukan.
“Sesungguhnya, tidak dapat menutup kemungkinan bagi Komnas HAM untuk menyelidiki kasus kanjuruhan dalam kerangka pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Daniel meminta Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti kembali hasil temuan sebelumnya dengan melakukan penyelidikan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Mengingat terdapat berbagai fakta yang perlu untuk ditelusuri lebih lanjut, satu diantaranya mengenai pertanggungjawaban komando/atasan dalam pengerahan penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh institusi keamanan. Sebab dalam tragedi ini terdapat aktor “high level” yang harus diminta pertanggungjawabannya secara hukum.
“Kami menilai dalam situasi seperti ini Menkopolhukam lebih baik berfokus pada rekomendasi laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang diketahui hingga saat ini belum ada perkembangan yang begitu signifikan,” ujarnya.