Kota Malang, SERU – Pesawat tanpa awak (drone) yang biasa kita jumpai, umumnya berukuran kecil tak lebih dari setengah meter dan hanya digunakan sebagai fotografi aerial. Namun, berbeda dengan drone ciptaan dosen Fakultas Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Ir Wahono, MT, yang telah menciptakan 3 jenis drone berteknologi canggih dalam mendukung dunia pertanian Indonesia.
Dikembangkannya model pertanian pintar melalui 3 jenis drone ini, berawal dari keprihatinan Wahono atas berbagai persoalan pertanian di Indonesia. Menurutnya, tantangan dunia pertanian semakin berat. Ketika lahan pertanian dan tenaga kerja semakin berkurang, namun disisi lain kebutuhan hasil semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Mau tak mau, petani yang ada harus jungkir balik mewujudkan upaya itu.
Dampaknya, pemerintah mengimpor hasil pertanian dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula. “Kondisi petani kita semakin memprihatinkan. Produk impor yang tersedia justru harganya lebih murah. Habislah kita,” masygulnya, ditemui di lahan persawahan UMM, Sabtu (11/1/2020).
Melalui temuannya, diharapkan dapat meningkatkan produktifitas tanaman dengan efesiensi biaya operasional dan biaya pekerja (petani). “Karena pestisida yang digunakan lebih sedikit, maka biaya produksinya juga berkurang dan tentunya lebih ramah lingkungan, sehingga racun yang disebarkan juga sedikit,” harapannya.
Ketiga drone tersebut, di antaranya, pertama, Motodoro MX berjenis Flying Wing berkemampuan sekali terbang bisa memetakan sekitar 700 hektar. Kedua, Farm Mapper berkemampuan terbang dan landing vertikal dengan daya jangkau 400-500 hektar. Ketiga, Spraying Robot Indonesia (SRI) yang berfungsi untuk aplikasi pupuk dan pestisida.
“Aplikasi untuk pupuk dan pestisida oleh SRI ini Smart, karena hanya menyemprot pada tempat yang membutuhkan dengan jumlah yang diperlukan. Berkapasitas 23 liter dengan jangkauan 10 hektar dalam 1 jam. Sementara, data tanaman yang membutuhkan pupuk dan pestisida itu, kita dapatkan dari Farm Mapper maupun Motodoro MX,” papar Wahono.
Selain itu, SRI juga memiliki sistem kerja yang mewakili mata yang berfungsi melakukan pemilahan atas tanaman yang sehat dan yang berpenyakit. Karena SRI memiliki sensor yang lebih presisi, lebih akurat secara kuantitatif. “Jadi dari sensor itu bisa menganalisis tingkat kesehatan tanaman, sehingga lebih objektif. Tanpa perlu turun ke lapangan,” imbuh Wahono.
Merespon temuan ini, mantan Rektor UMM, Prof. Dr Muhajir Effendy, MAP mengaku cukup bangga dengan temuan inovatif dan canggih sebagai solusi di sektor pertanian. Tak hanya di Indonesia, namun bisa meluas di sektor pertanian dunia.
“Saya sangat senang dengan penemuan ini, dan saya rasa ini tinggal mendesiminasi. Bagaimana penggunaan secara tepat dan meluas, agar bisa diadopsi oleh para petani. Karena kecepatannya bisa berkali-kali lipat dibandingkan dengan tenaga manual. Saya rasa sudah layak untuk di diseminasikan ke masyarakat dan harus segera dipatenkan,” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), dalam kunjungannya ke UMM.
Disebutkan mantan Mendikbud di periode sebelumnya, dirinya menugasi deputi untuk mencari teknologi yang dibutuhkan dalam pembangunan desa. Dimana salah satu yang paling menonjol adalah pertanian. “Ternyata di UUM relatif terdepan dalam pengembangan drone untuk digunakan di sektor pertanian,” ujarnya.
Menurutnya, inovasi drone ini sangat tepat l dalam bidang pertanian, selain kecepatannya beribu kali lipat dibandingkan cara manual tenaga manusia, juga mampu menjangkau luas. Alat ini juga bisa mendeteksi bagian mana dari tanaman yang berpenyakit, sehingga nanti ketika mengatasi penyakit tidak asal semprot.
“Harusnya ini sudah layak untuk di desiminasikan kepada masyarakat. Akan saya pelajari lagi dan minta untuk dibuat video penyajiannya yang bagus. Insyallah secepatnya akan saya laporkan langsung ke Presiden,” tandas Muhadjir.
Sejak awal tahun 2017, Farm Mapper maupun Motodoro MX telah diproduksi massal dengan kapasitas produksi sebanyak 40 buah tiap tahunnya. Mulai harga Rp 62 juta hingga Rp 250 juta. Sementara drone SRI juga akan diproduksi massal setelah selesai tahap pengembangan. “Dengan adanya temuan seperti ini, tentu akan sangat penting bagi pertanian kita,” ungkap Rektor UMM, Dr H Fauzan, MPd. (rhd)