Malang, SERU.co.id – Universitas Brawijaya (UB) kembali kukuhkan dua profesor baru, pada Rapat Terbuka Senat Akademik UB, di gedung Samantha Krida, Sabtu (19/03/2022). Kedua profesor tersebut adalah Prof Ir Didik Suprayogo, MSc, PhD dari Fakultas Pertanian (FP), dan Prof Anwar Sanusi, PhD dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Prof Ir Didik Suprayogo, MSc, PhD dikukuhkan sebagai profesor dalam bidang Ilmu Konservasi Tanah dan Air. Sekaligus profesor aktif ke-29 dari FP dan ke-165 di UB, serta menjadi profesor ke-291 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan UB.
Sementara, Prof Anwar Sanusi, PhD dikukuhkan sebagai profesor tidak tetap dalam bidang Ilmu Kebijakan Publik (Pengembangan Perdesaan). Sekaligus profesor ke-2 dari FISIP, dan profesor aktif ke-166 di UB, serta profesor ke-292 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan UB.
“Tanah sangat terkait dengan penurunan kualitas tanah dalam mendukung produksi tanaman dan kualitas sumber daya alam, serta penurunan produktivitas ekosistem. Penurunan fungsi tanah dapat mengakibatkan hilangnya unsur hara tanah, penurunan bahan organik tanah, pemadatan, erosi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati,” beber Prof. Ir. Didik Suprayogo, MSc, PhD, dalam pidato pengukuhan berjudul ‘Inovasi BioGT-BOT+ untuk Pertanian Konservasi dalam Budidaya Tanaman Semusim Di Lahan Kering Degradasi.’
Sekitar 60% dari luas daratan dunia mengalami degradasi, termasuk disebabkan karena erosi tanah. Ini merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pengelola lahan.
Solusi teknologi untuk pengendalian erosi tanah di awal musim tanam adalah pemberian mulsa di permukaan tanah. Namun, penggunaan mulsa kurang disukai oleh petani karena kurang praktis dan mudah berserakan di lahan.
“Untuk itu, kami dan tim mengembangkan penggunaan bahan baku organik yang dimasukkan di antara dua lapisan luar bahan geotekstil. Upaya ini disebut sebagai inovasi BioGT-BOT+, untuk mendukung pertanian konservasi,” tegas Prof Didik, sapaan akrab pria yang menyelesaikan studi S1 di Fakultas Pertanian UB; S2 di Wageningen Agriculture University, The Netherlands; dan S3 di Imperial Colllege, London University, UK.
BioGT-BOT+ ini merupakan suatu teknologi rakitan dua lapis bahan rajutan dari bahan organik dengan kualitas rendah yang sering dikenal dengan Biogeotekstil (BioGT-). Berfungsi sebagai mulsa untuk pengendalian erosi tanah.
Didalamnya diisi bahan organik/seresah/residu pertanian untuk memberikan tambahan (+) bahan organik tanah (BOT), agar terjadi penyehatan kesuburan tanah. Sehingga diperoleh produksi pertanian yang berkelanjutan di lahan kering.
“Keunggulan BioGT-BOT+ adalah produk ini dirancang sederhana, ramah lingkungan, efektif, dan aplikatif. Mampu menjawab trade-off antara upaya peningkatan produksi tanaman dan perlindungan sumberdaya tanah untuk mencegah degradasi tanah,” beber Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UB.
BioGT-BOT+ selain dirancang untuk mengendalikan erosi tanah juga dapat menyehatkan tanah melalui penambahan bahan organik, mengendalikan fluktuasi suhu tanah, menjaga kelembaban tanah yang berdampak peningkatan produksi tanaman.
Sementara itu, Prof Drs Anwar Sanusi, MPA, PhD, mengusung pidato pengukuhan berjudul ‘Multi-level Collaborative Governance: Sebuah Pendekatan Baru dalam Mewujudkan Desa Mandiri di Era Digital.’ Menurutnya, perkembangan era digital menyebabkan ekonomi dunia sedang mengalami transformasi besar ke arah knowledge economy. Dinamika perkembangan desa juga tidak lepas dari arus besar ini.
“Desa tidak hanya mengalami digitisation (konversi teknologi informasi analog ke dalam bentuk digital), namun juga digitalisation (proses sosio-teknis yang dikelilingi penggunaan teknologi digital, yang berpengaruh terhadap konteks sosial dan institutional). Nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di pedesaan,” seru Prof Anwar.
Melihat kompleksitas perkembangan kondisi dan tantangan strategis perdesaan, maka diperlukan bentuk-bentuk kebijakan publik perdesaan yang lebih lincah, adaptif, transformatif, dan kokoh.
Namun demikian, permasalahan pertama, hingga saat ini masih sangat sedikit studi kebijakan publik yang menyentuh tentang kebijakan perdesaan. Dari tahun 2014 hingga 2020, sangat minim kajian kebijakan publik yang membahas tentang kebijakan perdesaan. Sedangkan di tahun yang sama, kajian tentang kebijakan perkotaan mendapatkan porsi yang cukup besar.
Permasalahan kedua, Indonesia mengalami stagnasi pendekatan pembangunan perdesaan. Permasalahan pertama dan kedua tersebut bermuara pada permasalahan ketiga, yaitu minimnya fokus tata kelola pembangunan perdesaan pada tataran level meso-institusional.
“Dalam hal ini, kita memerlukan terobosan pendekatan kebijakan publik terkait tata kelola pemerintahan Perdesaan Indonesia. Yang tidak lagi semata-mata terfokus pada aspek-aspek makro-struktural dan makro-kultural,” terang mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (2015-2020) ini.
Prof Anwar menawarkan pendekatan baru yang disebut dengan Multi-level Collaborative Governance (MLCG). Pendekatan MLCG merupakan pendekatan yang dinilai cukup relevan dalam upaya pengembangan desa, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Dan multi-level pemerintah dalam kerjasama yang sistematis dan terstruktur dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, perguruan tinggi, hingga sektor swasta. Selain itu, MLCG juga mendorong pengembangan desa berbasis kearifan lokal dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.
“Dengan demikian, pendekatan MLCG mempercepat pencapaian desa mandiri, melalui 3 (tiga) keluaran utamanya. Yaitu: manajemen pengetahuan, kepemimpinan transformatif, dan rekognisi kearifan lokal,” beber pria yang menyelesaikan studi S1 di Universitas Gadjah Mada; S2 di Graduate School of Policy Sciences (GSPS) Saitama University, Jepang; serta S3 di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Jepang.
Menurutnya, keunggulan dari pendekatan MLCG, adanya keterlibatan berbagai multi-level sektor, pengembangan desa berbasis potensi lokal desa dan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal, serta memanfaatkan teknologi dalam upaya pengembangan desa.
“Dalam hal ini, seluruh pemangku kepentingan merupakan objek sekaligus subjek pembangunan perdesaan,” cetus Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan ini.
Hal ini akan mendorong sense of belonging yang kuat akan tanggung jawab pembangunan perdesaan. Pembangunan perdesaan akan lebih bersifat dinamis dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan strategis. Dan mampu meminimalisasi risiko yang muncul dari proses pembangunan tersebut. (rhd)
Baca juga:
- 11 Korban Masih Hilang di Longsor Tambang Gunung Kuda Cirebon, Polisi Periksa Enam Saksi
- Terapkan Skema Murur, Jemaah Tidak Turun dari Bus Saat di Muzdalifah
- Kodim 0833 Gelar Karate Championship Piala Dandim 0833
- Babinsa Kedungkandang Dampingi Petani Tlogowaru Panen Raya Padi
- Target Empat Medali Emas, Wali Kota Malang Motivasi Atlet Basket Hadapi Porprov IX Jatim