Malang, SERU.co.id – Ada enam juta pekerja kretek yang menggantungkan hidupnya dari tembakau, belum lagi petani tembakau yang tersebar diseluruh pelosok nusantara. Tarif cukai dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, membuat perusahaan rokok gulung tikar.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), Mohammad Nur Azami mengungkapkan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah keputusan yang menekan petani tembakau. Beberapa keputusan sektor pertanian, akses konsumen ke produk, persoalan pajak dan cukai hingga pemasaran produksi.
“Keseluruhan rangkaian kebijakan itu sudah menjadi beban di lima tahun terakhir. Kalau kita lihat secara gradual kenaikan tarif cukai secara rata-rata sudah hampir 200 persen. Yang pasti pertama kali tumbang adalah petani,” seru Mohammad Nur Azami, melalui Zoom Meeting, Senin (31/5/2021).
Komunitas Kretek mengadakan kegiatan diskusi online sebagai upaya kampanye tandingan pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh pada Senin, 31 Mei 2021. Bertemakan ‘Senjakala Bara Kretek, Potret Buram Ekosistem Kretek di Indonesia’ mengupas lebih dalam seputar problem rokok hari ini.
Hadir sebagai pembicara, di antaranya Kang Sobary (Budayawan), Pradnanda Berbudy SH MH (Ahli Hukum), Bli Komang Wardana (Petani Cengkeh), Soeseno (Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia), Muhammad Nur Azami (Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek), serta Jibal G Windiaz (Ketua Komunitas Kretek).
Mohammad Nur Azami mengatakan, agenda kelompok anti rokok ada intervensi global terkait kebijakan industri hasil tembakau (IHT). Salah satu perjanjiannya adalah FCTC (Framework Convention Tobacco Control). Perjanjian tersebut berupaya untuk mengendalikan tembakau sepenuhnya.
“Agenda besar kelompok antirokok membatasi dan membuat industri ini stagnan dan tidak tumbuh. Seakan-akan peran industri ini jatuh dan dengan sendirinya menganggap pabrik ini stagnan lalu mati,” beber Azami, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, pihaknya menambahkan, dengan atau tanpa ratifikasi FCTC, sejatinya Indonesia telah mengadopsi poin dari FCTC. Tak hanya permasalahan petani dan produk tembakau, melainkan juga ruang bagi perokok. Ini juga sangat janggal. Apalagi di berbagai daerah giat untuk mengadakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Ada lagi KTR yang membatasi akses untuk mengonsumsi produk tersebut. Peraturan KTR pun terkesan dipaksakan,” pungkasnya.
Sementara salah satu petani cengkeh di Bali Utara, Komang Armada menjelaskan, meskipun tanaman cengkeh dianggap lebih beruntung daripada tembakau, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa cengkeh adalah komponen dari kretek. Cengkeh dan tembakau adalah perpaduan yang tak terpisahkan. Apabila industri kretek mengalami penurunan, maka hal tersebut berdampak kepada petani cengkeh.
“Saya sangat prihatin, karena cengkeh termasuk komoditas untuk kretek. Petani cengkeh akan terdampak dari regulasi,” seru Komang Armada.
Petani adalah salah satu rangkaian dari industri kretek. Jika ada kenaikan cukai, sejujurnya yang sangat dirugikan adalah petani. Mereka harus menekan harga bahan baku, sehingga kesejahteraan jauh dari kata layak.
“Kalau pemerintah abai, dan petani tembakau dibiarkan, saya kira itu tidak adil. Hasil cukai diambil, tapi petaninya dibiarkan,” masygulnya. (jaz/rhd)
Baca juga:
- Dr Sholikh Al Huda Minta Kejagung Tidak Kendor Usut Kasus Korupsi Pengadaan Chromebook
- Marsma Reza Sastranegara Ngopi Bareng Wartawan Sambil Bahas Sinergi Lanud Abd Saleh dan Media
- DPRD Jatim Dorong Kota Malang Jadi Pilot Project Pelayanan Publik Berbasis Digital
- Gunung Semeru Erupsi, BMKG Pantau Sebaran Abu Vulkanik ke Arah Barat
- Kisah Duka Dosen Asal Madura yang Gugur Menuju Tanah Suci