Nama : Dicky Prabowo Octianto
NIM : 201810370311123
Teknik Informatika – Universitas Muhammadiyah Malang
Di era digitalisasi seperti sekarang ini hampir semua manusia menggunakan sosial media dan terhubung satu sama lain di dunia maya, dikutip dari laman resmi We Are Social pada februari 2020 pengguna sosial media di seluruh dunia menembus angka 3,8 miliar pengguna dari total 7,8 miliar manusia di bumi. Media sosial tidak hanya digunakan oleh para remaja saja, melainkan sudah digunakan oleh berbagai kalangan usia. Kemudahan untuk mengakses jaringan internet menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat dari seluruh dunia untuk. Contoh media sosial yang dapat kita digunakan adalah youtube, Instagram, whatsapp, twitter, facebook, dan masih banyak lagi.
Media sosial membuat interaksi manusia bisa semakin luas tidak terbatas oleh ruang lingkup disekitar kita saja. Orang – orang dari belahan dunia yang berbeda juga dapat saling berinteraksi dan berkenal satu sama lain dengan mudah. Media sosial dewasa ini banyak digunakan untuk saling menunjukan eksistensi, menunjukan kreatifitas, dan juga dijadikan ladang bisnis bagi sejumlah kalangan mulai dari berjualan barang maupun menawarkan jasa yang mereka miliki dilansir dari survei Sea Insights menujukkan, sebanyak 54% responden pemilik UMKM semakin adaptif dalam penggunaan media sosial untuk meningkatkan usaha penjualan mereka. Media Sosial dianggap mampu meningkatkan penjualan mereka karena ruang lingkup di media sosial yang tak terbatas oleh jarak antara penjual dan pembeli.
Peningkatan pengguna media sosial tentunya akan berjalan beriringan dengan tingkat ketidak teraturan di dalam media sosial tersebut, karena semakin banyak individu beragam yang bergabung ke dalam suatu komunitas maka akan semakin sulit untuk diatur. Keberagaman individu dengan perbedaan sifat dan latar belakang membuat pengontrolan terhadap pengguna menjadi sulit karena para individunya memiliki sudut pandang yang berbeda pula. Maka dari itu sebenarnya para pengguna media sosial sudah seharusnya memahami yang Namanya cyber ethics untuk meminimalisir kekacauan di media sosial. Dikutip dari Wikipedia, Cyber ethics atau Etika Dunia Maya adalah studi tentang etika sebagai cabang dari ilmu filsafat yang berkaitan dengan etika komputer dari pemakai internet dan membahas mengenai perilaku pengguna dunia maya serta apa yang dilakukan mereka pada dunia siber tersebut.
Cyber ethics perlu dipahami oleh para pengguna media sosial agar para pengguna dapat memahami adanya batasan – batasan hak yang mereka miliki di media sosial, dimana apapun kegiatan yang mereka lakukan di media sosial tidak boleh mengganggu hak – hak yang dimiliki oleh orang lain. Untuk cyber ethics dasar untuk aturannya sendiri dibagi menjadi 2 yaitu tertulis dan tidak tertulis. Dasar aturan yang tertulis bisa diliat pada Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau bisa kita kenal dengan UU ITE dan untuk dasar aturan tidak tertulis beracuan pada nilai – nilai moral yang beberapa aturannya tidak ada di aturan tertulis tapi tetap perlu dipahami oleh para pengguna media sosial.
Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi dasar aturan utama dalam pemasalahan cyber ethics di dunia maya yang dikhususkan untuk para pengguna di Indonesia. UU ITE mengatur sejumlah hal seperti contohnya pencemaran nama baik, penghinaan SARA, tata cara intersepsi, bukti elektronis dan lain – lain. Dikutip dari perkataan Anton Muhajir dari SAFEnet kepada tim media tirto.id berkata setidaknya ada sekitar 3100 kasus terkait pasal-pasal dalam UU ITE sepanjang 2019, kebanyakan dari kasus – kasus tersebut masih ditahap pelaporan saja karena beberapa kasus dianggap masih ambigu dan masih banyak pasal – pasal di UU ITE ini dianggap pasal karet yang dapat mempidana seseorang dengan alasan yang kurang jelas, contohnya kasus dosen Universitas Syiah Kuala asal Aceh yang bernama Saiful Mahdi yang justru dilaporkan oleh beberapa golongan karena menuntut hak atas kebebasan akademik tapi kemudian dijerat dengan UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik akibatnya Saiful Mahdi divonis 3 bulan penjara dan denda Rp10 juta dengan subsidair 1 bulan penjara. Dari banyaknya laporan kasus yang dianggap masih ambigu maka perlu adanya revisi dari UU ITE ini agar tidak dianggap pasal karet yang dapat mempidana seseorang dengan pasal – pasal yang masih ambigu tersebut.
Aturan tidak tertulis untuk cyber ethics atau etika dunia maya cenderung lebih mudah dipahami daripada pasal – pasal yang tercantum dalam UU ITE karena etika -etika pada aturan tidak tertulis lebih menekankan pada etika moral seperti penggunaan identitas palsu atau milik orang lain, tidak menggunakan Bahasa kasar, tidak menyebarkan isu-isu yang masih simpang siur, tidak memamerkan hal – hal yang tidak pantas di media sosial, dan sebagainya.
Pengguna media sosial di Indonesia masih sangat kurang dalam pemahaman – pemahaman berkaitan tentang etika bermedia sosial, yang mana contoh nyatanya bisa kita liat di media sosial yang kita miliki mulai dari kolom komentar yang kebanyakan berisi hate speech yang bisa menimbulkan perdebatan, berita – berita hoaks yang masih marak tersebar, para pengguna media sosial yang tidak menggunakan identitas aslinya saat bermedia sosial, bahkan kasus – kasus penipuan yang terjadi di media sosial yang merugikan banyak orang. Beberapa oknum yang mengabaikan cyber ethics dalam contoh kasus hate speech sebagian besar adalah mereka yang suka dengan adanya keributan yang diakibatkan oleh diri mereka atau di dunia nyata kiat sebut sebagai provokator. Dilansir dari pernyataan Dr. Alvin F. Poussaint yang mengatakan ujaran kebencian berelasi dengan isu mental, Contohnya apabila seseorang memiliki perasaan kesenangan ketika komennya di media sosial dapat menimbulkan keributan. Penggunaan capslock dalam bersosial media juga dapat memberikan efek ambigu bagi si pembacanya, seperti dilansir dari kompasiana edisi “Jangan Sampai Salah, Ini 5 Etiket Menulis E-mail dalam Bekerja” penggunaan fungsi huruf besar atau capslock memberikan kesan si pengirim sedang menggunakan nada tinggi.
Cyber ethics menjadi sangat urgent dipahami oleh para pengguna media sosial khususnya netizen Indonesia karena sering kali terjadi keributan di media sosial akibat hal – hal sepele. Pelaporan kasus berkaitan dengan UU ITE sangat marak di Indonesia bahkan untuk kasus – kasus yang sebenarnya sepele, oleh sebab itu peran pemerintah sangat penting untuk melakukan pembenahan pada tiap butir pasal UU ITE yang masih dianggap pasal karet serta pemerintah harus lebih berperan aktif untuk mensosialisasikan cyber ethics dan isi dari UU ITE yang telah dirancang. Bukan berita baik ketika penjara Indonesia yang sudah over capacity di tambah lagi pemenjaraan terpidana pelanggar UU ITE yang sebenarnya adalah kasus yang Sepele.