Gresik, SERU.co.id – Menjelang masa berakhirnya periode kepemimpinan Pemerintahan Kabupaten Gresik (2010-2020) ada sejumlah catatan pembangunan yang dinilai sejumlah kalangan hanya proyek ‘pencitraan’. Proyek-proyek itu bahkan dianggap hanya proyek yang dipaksakan untuk pemenuhan ambisi tertentu karena tanpa ada kajian yang memang dibutuhkan masyarakat Gresik pada umumnya.
Ketua LSM Informasi Dari Rakyat (IDR) mengungkapkan gagalnya proyek Grosir Pasar Ikan Modern, di Jalan Raya Lamongan, desa Banjarsari, Kecamatan Cerme, Gresik. Ia menilai proyek investasi adalah proyek ‘pencitraan’ yang gagal. Menurutnya proyek ini sejak awal telah di prediksi bakal mangkrak. Padahal menelan investasi dari investor senilai Rp 59 miliar dengan model kerjasama Build Operate Transfer (BOT) dari PT Lumbung Putra Kalimantan milik Gus Sholeh ini mangrak.
“Pasar ikan modern ini awal-awalnya sudah diprediksi bakal gagal. Karena pemerintah tidak melakukan kajian dengan tepat. Makanya kami menganggap proyek ini adalah proyek pencitraan yang gagal,” ungkap Choirul Anam Ketua LSM Informasi Dari Rakyat (IDR), Senin (30/11).
Dikatakan Anam, proyek ini menempati lahan milik Pemkab Gresik seluas sekitar 4 hektar di Bunder dan bekerjasama dengan Pemkab Gresik dengan sistem BOT dengan PT Lumbung Putra Kalimantan pada tahun 2016 selama kurang lebih 30 tahun. “Proyek ini asal diadakan. Karena yang dibutuhkan hanya pencitraan. Buktinya ketika mangkrak ya dibiarkan dan tidak diurus. Artinya tidak ada yang bertanggungjawab dan masyarakat hanya bisa mengolok olok pemerintah karena faktanya memang gagal,” ujar Anam.
Jika proyek pasar modern ini untuk menampung hasil ikan masyarakat Kabupaten Gresik, baik dari pertambakan maupun tangkapan nelayan tidak tepat jika dibangun diwilayah tersebut. Programnya mungkin baik, tetapi tidak tepat karena tidak melakukan fisibility satady (RS) yang tepat. “Kajianya tidak jelas. Karena tujuan utamanya hanya melanggengkan ego kekuasaan. Sehingga tidak mendengarkan suara masyarakat. Wal hasil ya mangkrak,” tuturnya.
Ironinya proyek ini sudah diresmikan Bupati Sambari Halim Radianto. Targetnya 186 stan. Sejumlah masyarakat pun yang membeli stand terpaksa hengkang karena tak ada orang yang datang untuk membeli. “Sebutanha apa kalau bukan mangkrak,” tegasnya.
Dikatakan Anam, proyek Islamic Centre dengan jargon Gresik kota santri ini juga tidak seindah dengan gaungnya. Faktanya hingga kekuasaan hampir habis tidak terealisasi. Justeru ungkap dia, menimbulkan banyak polemik dan kesanya pembangunan bukan atas kemauan masyarakat, tetapi hanya nafsu penguasa. Padahal proyek dengan anggaran Rp 64 miliar itu, diklaim bukan sekedar untuk pusat kegiataan keagamaan.
“Mana Islamic Centre itu. Alon-alon ?. Kondisi Alon Alon justeru semakin semrawut dan dianggap oleh kalangan pengamat seni dan budaya revitalisasi alon-alon telah merusak situs sejarah Alon Alon Gresik. Pemerintah seolah olah peduli dengan masyarakat Gresik membuat Islamic Centre, faktanya ditolak. Makanya berubah revitalisasi alon-alon, karena tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat,” tegasnya.
Katanya, ungkap Anam, kehadiran Islamic Center yang dibangun di kecamatan Balongpanggang ini merupakan wujud dari pemerataan pembangunan di wilayah Gresik. Dan diklaim menjadi persembahan di penghujung masa kepemimpinan periode kekuasaan 2010-2020. Peletakan batu pertama sudah dilakukan Bupati beserta jajaran Forkopimda pada 9 September 2019 lalu. Pembangunan Islamic Center ditargetkan dalam dua tahun anggaran sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan rincian anggaran tahun 2019 senilai Rp 20 miliar dan tahun 2020 sebesar Rp 44 miliar.
“Sampai hari ini kita hanya mendengar saja pembangunan Islamic Centre. Tapi hingga masa pemerintahan hampir 10 tahun ini hanya pencitraan sedangkan pembangunannya tidak seindah yang dipamerkan lewat berita berita di banyak media. Dan proyek ini berpotensi jadi monumen proyek gagal. Seperti proyek-proyek pencitraan lainya. Karena angan-angan dan realitasnya tidak sesuai. Bisa karena asal kemaunya lalu yang lainya tidak berani meprotesnya,” bebernya.
Selanjutnya Anam mengkritik pembangunan stadion Gelora Joko Samudro (GEJOS) yang dianggapnya tidak memenuhi kreteria wilayah untuk pembangunan stadion. Salah satu alasannya diatasnya terdapat Saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) diatas pembangunan stadion yang menelan anggaran APBD sebesar Rp300 miliar dengan sistem anggaran multy years. “Sutet jelas berbahaya karena stadion bukan hanya untuk olahraga sepakbola. Tetapi acara-acara lainya juga bakal dilaksanakan disana. Yang jadi pertanyaan fisibility satady (FS) kok bisa lolos ?. Sebaiknya harus ditindaklanjuti oleh DPR. Bagaimana ini bisa terjadi,” ungkapnya.
Dari segi pemanfaatan, imbuh Anam, GEJOS tidak diperlukan sebenarnya. Ia menganggap proyek GEJOS dipaksakan karena selain tempatnya tidak tepat karena berada di jalur nasional dan dekat denga tol sehingga berpotensi terjadi kemacetan dan tidak memungkinkan daerah untuk melakukan rekayasa jalan nasional karena bukan kewenanganya. “Sudah ada stadion Petrokimia Gresik. Dan tidak jauh dari titik pembangunan GEJOS ada Gelora Bung Tomo, terlalu dekat. Makanya FS nya kok bisa lolo, belum lagi sutet,” ungkapnya.
Sementara itu, pembangunan landmark dari sejumlah perusahaan swasta dan BUMN yang menggunakan dana CSR juga mendapat reaksi sejumlah pihak, karena dianggap tidak dibutuhkan masyarakat. DPRD Kabupaten Gresik tidak tahu menahu, karena pembangunan landmark yang menghabiskan puluhan miliar itu tidak pernah melibatkan wakil rakyat tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPRD Gresik, Syaichu Busiri mengatakan, DPR selama ini hanya melihat, karena dalih pembangunan landmark anggaran yang digunakan dari dana (CSR) bukan anggaran APBD. Seolah olah DPR tidak memiliki kewenangan untuk pengawasan terhadap pembangunan landmark tersebut.
“Kita (DPR) mulai perencanaan hingga pembangunan tidak pernah terlibat. Kita dianggapntidak ada. Kemungkinan pihak pemerintah berbeda cara pandang dengan kita. Sebab meski dibangun dari CSR tetapi lahan yang digunakan aset pemerintah. Dan saat nanti diserahkan landmark itu perawatanya akan menjadi tanggungjawab APBD, pastinya kami bakal ikut menanggung akibatnya juga. Dan dengan alasan itu juga, saat masyarakat meributkan landmark kami justeru hanya mendengarkan, karena kami memang tidak ikut tanggungjawab,” kata Syaichu salah satu anggota Komisi l Anggota DPRD Gresik, Senin (30/11).
Semestinya, ujar wakil rakyat dari FKB ini, karena aset tanahnya untuk pembangunan landmark itu aset pemerintah setidaknya pemerintah sebelum membangun tidak ada salah jika berkonsultasi dengan DPR. Agar tidak timbul gejolak ditengah-tengah masyarakat yang sudah kritis dengan kebijakan kebijakan yang dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. “Semua peruntukkan tanah aset pemerintah harus dikonsultaskan dengan DPR. Setidaknya bisa mewakili masyarakat yang saat ini tengah memprotes. Kalau sudah seperti ini kita juga tidak akan bertanggungjawab karena kami tidak tahu menahu soal landmatk,” ujar dia.
Sedangkan, imbuh Syaichu CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak hanya tidak tepat sasaran, karena hanya mementingkan estetika dan monumental yang tidak ada sangkut pautnya dengan ekonomi kerakyatan disekitar perusahaan. Padahal dana puluhan miliar itu bisa digunakan untuk ekonomi kerakyatan khususnya untuk warga ring satu misalnya.
“Jika hanya landmark masyarakat tidak dapat apa- apa. Dan pertanggungjawabanya nanti seperti apa ?. Karena CSR peruntukanya untuk memperhatikan warga sekitarnya. Setidaknya jika CSR untuk masyarakat sekitar akan meminimalisir gejolak akibat polutan yang dihasilkan produksi perusahaan,” tegasnya.
Anggaran CSR tutur Syaichu, bisa digunakan untuk menggeliatkan BUMDes. Dengan menyuntikkan anggaran CSR untuk memberdayakan BUMDes yang berorentasi kepentingan pemberdayaan SDM masyarakat.
“Misalnya mereka dilatih memasak untuk catering atau yang lainya dalam wadah yang jelas, seperti BUMDes. Atau untuk pemberdayaan lainya yang bersinggungan dengan keberlanjutan pembangunan ekonomi dan pendidikan serta wawasan lingkungan. Yang terpenting adalah tepat sasaran,” tandasnya.
Ditambahkan Wakil Ketua DPRD Gresik Ahmad Nurhamim, mengungkapkan terkait dengan pembangunan landmark pihaknya telah berusaha melakukan komunikasi kepada pihak yang terkait. Namun mereka beralasan bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan (CSR). Pemerintah hanya mengarahkan tidak bisa memaksa.
“Kita memang sudah menyoroti soal landmark. Alasan mereka itu hibah perusahaan, pemerintah tidak boleh memaksa, tapi hanya mengarahkan. Tetapi lanmark kan dibangun diatas aset pemerintah. Masak nantinya tidak dimasukkan ke aset pemerintah, lalu nanti akan jadi landmark tidak bertuan ?. Lalu yang merawat siapa ? Menggunakan anggaranya siapa ?. Ini tidak pernah mereka pikir,” cetus Anha panggilan Ahmad Nurhamim.
Ia juga khawatir dengan Landmark tersebut dimasa mendatang. Alasanya tugu yang dibangun dengan anggaram CSR itu bakal dibongkar oleh bupati yang akan datang. Karena dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah.
“Kalau dengan berbagai pertimbangan sejarah, lalu dibongkar oleh bupati mendatang gimana ?. Jadi runyam kan. Sebaiknya memang harus banyak pertimbangan. Karena Gresik mendatang butuh pelurusan sejarah agar anak cucu kita nanti tidak salah dalam memaknai sejarah nenek moyang mereka,” pungkasnya. (sgg/jun)